Oleh:
Suheri Sahputra Rangkuti, M.Pd.
MISKIN terambil dari kata bahasa arab yang akar katanya adalah “sakana” artinya, diam atau tenang. Menurut pengertian bahasa arab ini tergambar bahwa orang yang diam tidak bergerak, tidak mau berusaha adalah orang yang berpotensi untuk hidup miskin. Dalam bahasa Indonesia kata miskin diartikan, tidak berharta; serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah). Miskin tidak sertamerta terjadi karena malas atau enggan berusaha. Namun bisa juga terjadi karena faktor alam, misalnya, disebabkan musim paceklik bagi petani, musim hujan bagi penyadap karet. Di samping itu miskin juga dapat terjadi karena bencana yang mengakibatkan hancur dan hilagnya harta yang sudah dimiliki, lebih-lebih karena faktor perekonomian daerah dan kabupaten yang kadang tidak berpihak kepada rakyat.
Apapun pengertian dari kemiskinan, yang pasti, kemiskinan yang kian tahun meningkat membuat kerusakan di segala lini kehidupan. Mulai dari tindak kriminal dan asusila. Kita kadang kaget mendengar kabar ibu paruh baya menjadi kurir narkoba, seorang bapak menjadikan anaknya menggelandang untuk mengemis belas kasihan di lampu merah, bahakan, ada yang rela menjual kehormatan dirinya untuk biaya sekolah anaknya. Kemiskinan yang kian menggerogoti jantung negeri ini menjadi ancaman serius bagi kita semua terlebih-lebih pemerintah mulai dari pusat hingga daerah.
Tulisan ini bukanlah untuk menjawab “Bagaimana cara untuk terbebas dan mengentaskan kemiskinan?” sebab, jawaban dari pertanyaan ini lebih kepada mekanisme dan pelaksanaan, tentu, untuk sampai ke situ harus bertanya kepada ahlinya masing-masing. Sebagai contoh, seorang petani yang ingin mendapatkan hasil maksimal dari pertaniannya, semestinya, memperbanyak diskusi dengan ahli pertanian dan begitu juga dengan yang lain. Namun tulisan ini dihidangkan dalam bentuk pokok pikiran, untuk menjawab “Mengapa kita miskin?”. Lebih spesifik lagi, tulisan ini fokus kepada antisipasi munculnya kemiskinan dari dalam diri.
Hemat saya, faktor yang menghambat untuk hidup wajar, nomor satunya berada dalam diri sendiri. Sebab betapapun besarnya peluang untuk maju dan berhijrah dari kehidupan yang tidak wajar menuju ke kehidupan yang mapan, jika tidak ada kemauan, maka peluang-peluang hanya dianggap sebagai dongeng atau legenda – selalu dijawab dengan kelakar sinis – bahwa konsep itu sudah lama dan sudah basi.
Memahami Ulang Teologi
Dalam pemahaman masyarakat kita, kemiskinan itu lebih dominan dianggap sebagai persoalan iman. Diperparah lagi dengan anggapan, bahwa membenci harta dan hidup miskin merupakan sebuah anjuran. Pemahaman yang ambigu ini sangat bertentangan dengan fitrah manusia. Anggapan yang menyimpang ini juga bisa kita bantah dengan argumen-argumen yang bersumber dari agama. Setiap agama melarang penganutnya untuk hidup miskin, lebih-lebih agama Islam. Sebenarnya Islam tidaklah mengajak umatnya untuk hidup miskin. Ancaman-ancaman tentang harta dalam Al-Qur’an tidak bermaksud untuk membenci kehidupan yang layak, namun ancaman itu mengarah kepada kehidupan yang glamoris, mewah, mubazzir dan hidup untuk harta.
Konsep zuhud (tidak gila harta) yang ditawarkan oleh imam Al-Ghazali tidak lain hanyalah sebagai cara untuk tidak melupakan kewajiban sebagai hamba. Menyimpangnya anggapan masyarakat kita tentang konsep zuhud, konon kabarnya disebarkan oleh Snouck Hougronje (seorang orientalis) agar penjajah dapat melebarkan sayap di negeri ini. Penjajah melihat bahwa umat Islam adalah umat yang kuat karena sebagian di antara ulamanya adalah pedagang yang kaya yang kekayannya dipergunakan membantu perjuangan. Untuk melemahkannya, penjajah menyebarkan paham bahwa hidup serba kecukupan melalaikan kita dari Tuhan.
Mengaitkan kemiskinan dengan persoalan iman atau takdir bukanlah sebuah alasan untuk menyerah kepada kemiskinan. Kemiskinan itu adalah fenomena yang realistis, membutuhkan cara dan usaha untuk keluar dari belenggunya. Dalam masalah ini, semestinya, kita mengimani takdir dengan keyakianan, bahwa Allah akan membebaskan kita dari genggaman kemiskinan. Bukan sebaliknya, menganggap dirinya menyerah kepada Allah padahal dalam sikap yang sesungguhnya dia telah menyerah kepada kemiskinan.
Setting Mindset
Bekerja adalah ibadah, sebab dengan bekerja kita bisa memenuhi kewajiban yang lain. Dalam kaidah fiqh mengatakan “Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya maka ia juga ikut wajib” contoh sederhana, sholat itu wajib dengan menutup aurat, penutup aurat itu membutuhkan kain, maka berusaha agar dapat membeli kain untuk penutup aurat, hukumnya menjadi wajib. Mempertahankan hidup, memberikan pendidikan yang layak, adalah sebuah kewajiban yang mesti dipenuhi dengan berusaha. Nilai ibadah dari sebuah pekerjaan bukan dilihat dari level dan banyaknya orang yang menyanjung pekerjaan itu. Tapi dilihat dari halal atau tidaknya sebuah pekerjaan.
Dalam realitanya, tidak semua yang miskin itu bisa terlihat nyata, ada juga seoalah semu dan senyap tetapi secara ukuran mereka sudah masuk dalam ketegori miskin walaupun miskin semu, pertama, kelompok yang lebih terfokus pada level pekerjaannya. Kelompok masyarakat yang seperti ini adalah kelompok yang rela bekerja tanpa digaji. Karena baginya pekerjaan adalah simbol kehormatan. Papan nama dan lambang sebuah instansi berada di dada dan dipundaknya sebagai bentuk kebanggaan. Dengan berada pada level ini sebenarnya kita masih senang dengan belenggu kemiskinan itu. Padahal banyak usaha yang menggiurkan dan menjanjikan keuntungan, misalnya beralih pada sektor perikanan atau pertanian dll.
Kelompok kedua adalah kelompok yang yang malu bekerja. Kelompok ini tidak akan mau bekerja kecuali sesuai dengan jurusannya, meskipun umpamanya kelompok ini mampu untuk pekerjaan lain. kelompok ini lebih memilih menganggur dan menjadi beban hidup keluarganya sebelum berterima pada perusahan atau instansi yang membutuhkannya. Kelompok ini akan bersayembara dengan waktu, limit waktu menunggu adalah kemiskinan baginya karena sama saja dengan menganggurkan diri untuk sesuatu yang tak pasti. Dengan demikian, perlu kiranya kita kembali mengatur maindset bahwa bekerja itu tidak harus terlihat wah!!!!! Sebab esensi utamanya adalah keluar dari belenggu kemiskinan.
Bagian Akhir: Dimensi hakikat (aku berharap) dari Sikap diri untuk menetapkan sebuah tujuan kemana arah tindakan dilangkahkan. Setiap pribadi muslim meyakini bahwa niat atau dorongan untuk menetapkan cita-cita merupakan ciri bahwa dirinya hidup. Dimensi syariat (aku berbuat). Pengetahuan tentang peran dan potensi diri, tujuan serta harapan-harapan hendaklah mempunyai arti bila dipraktikkan dalam bentuk tindakan nyata. Bekerja untuk mencari fadhilah karunia Allah, menjebol kemiskinan, meningkatkan taraf hidup, martabat, dan harga diri adalah kewajiban setiap individu menyia-menyiakannya berarti bertentangan dengan sunnatullah. Harapan (hope) hanya bisa diraih bila memenuhi kualitas kepribadian yang secara metaforis dapat digambarkan dalam rumus: Quality of your (head + heart + hand) + hard working = hope dalam artian kemiskinan bisa ditolak dengan berupaya dan mengaharap takdir yang lebih baik dari Tuhan.
Admin : Dina Sukandar Hasibuan,A.Md