
Kaget ketika akhirnya saya berada di rumah Mochtar Lubis, tokoh jurnalisme Indonesia. Wartawan kantor berita Antara, lalu mendirikan harian Indonesia Raya. Dijebloskan ke penjara oleh Soekarno selama sembilan tahun, hingga dibebaskan tahun 1966.
Sejak mahasiswa saya membaca tulisan-tulisannya: novel Tak Ada Esok, Senja di Jakarta, Harimau-Harimau, Catatan Subversif, dan bukunya yang kren Manusia Indonesia yang tetap saya simpan.
Tak sengaja ketika menelusuri jejak pelopor cerpen Indonesia, M. Kasim di Kotanopan, kami (BPNB Aceh dan Forum Penulis Madina) di bawa ke sebuah rumah bergaya kolonial yang masih asri. Ternyata rumah Mochtar Lubis.
Astaga, kesadaran kita seakan disentakkan. Berkali-kali saya melewati rumah itu, tidak tahu kalau itu rumah Mochtar Lubis. Saya duduk di kursi di bawah fotonya, melihat kamar yang masih bergaya kolonial, dan berbagai kesan yang membuat kita seolah-olah tidak sedang berada di Mandailing Natal.
Ada potret hitam putih keluarganya, sebagai mantan Demang atau setara Wedana di masa kolonial. Persisnya kepala distrik atau bupati dalam konteks sekarang. Tetapi memang seorang Mochtar Lubis sangat anti kolonial, itu hal lain yang bisa didiskusikan.
Menarik sekaligus naif, ketika kita yang berada di Mandailing Natal tidak menyadari ada tokoh penting di sekitar kita yang bahkan luput dari ingatan. Sama halnya dengan M. Kasim, sastrawan penting Balai Pustaka, yang juga ada di sekitar kita.
Kita memang bangsa yang naif.