Berkah Jadi Musibah

Dosen STAIN Madina (Penulis)

Tak terasa memasuki tahun ke 2 Indonesia dilanda wabah covid 19 (corona). Wabah yang berasal dari negeri As Shin China dengan cepat merambah ke penjuru dunia.

Tak main-main banyak korban berjatuhan, bahkan sistem kesehatan yang belum siap dengan lonjakan pasien, membuat garda terdepan kalang kabut merawat pasien yang jumlahnya kian bertambah dari hari ke hari.

Media terus memberitakan minimnya ketersediaan ruang inap di rumah sakit dan menipisnya pasokan obat termasuk oksigen.

Segala macam cara telah dilakukan pemerintah; termasuk membuat aturan protocol Kesehatan dengan menjaga jarak, cuci tangan dan memakai masker, sampai pada meliburkan seluruh aktifitas yang menyebabkan kerumunan di sejumlah sektor perdagangan, area perkantoran dan Pendidikan. Seluruh aktifitas lumpuh.

Perusahaan gulung tikar dini , para karyawan terpaksa dirumahkan, rumah peribadatan ditutup, area sekolah disterilkan dari kegiatan tatap muka.

Gejolak yang terjadi akibat maraknya wabah covid 19 di Indonesia membuat masalah baru.

Tidak hanya membludaknya pasien yang tak diimbangi dengan ketersediaan ruang inap dirumah sakit, tetapi juga tutupnya sektor perdagangan dan area perkantoran menambah jumlah angka penganguran yang berimbas pada bertambahnya kriminalitas.

Selain itu, demi kelancaran pembelajaran di sejumlah area pendidikan, para pendidik dituntut menggunakan strategi dan cara baru untuk menyampaikan ilmu.

Pemerintah Menyusun strategi baru untuk menjaga perekonomian Indonesia, dengan memberlakukan Batasan waktu bagi pelaku bidang usaha.

Tak terkecuali para pendidik, mereka mulai mengaplikasikan belajar menggunakan gawai sebagai strategi dan media untuk menyampaikan materi pelajaran, dimana melalui gawai pendidik dapat memantau dan mengarahkan aktifitas para peserta didik saat tengah melakukan proses pembelajaran daring.

Bahkan untuk memaksimalkan proses belajar mengajar, para pendidik rela mendatangi kediaman peserta didik untuk mengontrol kegiatan tersebut.

Menteri Pendidikan Nadiem Makarim tak hanya diam melihat fenomena tersebut, beliau bertindak dengan membuat program belajar dari rumah lewat TVRI yang bisa diakses oleh kalangan pelajar; mulai dari jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PIAUD), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sampai SMA (sekolah menengah atas).

Menurutnya, program tersebut dapat membantu masyarakat yang memiliki keterbatasan pada akses internet, juga dapat memperluas akses layanan Pendidikan bagi masyarakat di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) yang memiliki keterbatasan ekonomi.

Pada kenyataanya apa yang dilakukan Menteri Pendidikan dan para pendidik belum berjalan maksimal.

Mengatasi hal tersebut Menteri Pendidikan mengeluarkan konsep Merdeka Belajar, dimana belajar bersifat bebas tidak terikat krikulum. Menurutnya konsep merdeka belajar sangat tepat digunakan sebagai metode pembelajaran, karena terdapat kemandirian dan kemerdekaan bagi lingkungan Pendidikan menentukan sendiri cara terbaik dalam proses pembelajaran (Kompas.com).

Dengan adanya kemerdekaan dalam menentukan metode belajar, guru dapat mengasah kekreativitasnya untuk memotivasi dan menentukan cara mengajarnya.

Berbanding terbalik dengan hal di atas, terdapat masalah lain yaitu kurangnya minat dan motivasi peserta didik terhadap belajar.

Dimana di sekitar lingkungan, banyak kita saksikan peserta didik justru lebih asik bermain game ketimbang memahami apa yang disampaikan oleh pendidik melalui gawainya.

Kondisi tersebut didukung dengan adanya rasa bosan Ketika belajar, karena situasi belajar yang tidak kondusif dan terpisah dari teman-temannya.

Hal tersebut makin diperparah dengan minimnya kesadaran orang tua untuk mendampingi anaknya belajar, apalagi mengontrol pemakaian gawai yang dipergunakan untuk belajar daring.

Masalah bermunculan mulai dari meningkatnya populasi pemakaian kacamata pada anak, sebagaimana dilansir dari dr. Adhi Wicaksono, SpM dari rumah sakit Mata Aini Jakarta, bahwa gaya hidup menyumbang 45% penyebab kelainan refraksi diantaranya rabun jauh myopia yang sering dikenal dengan mata minus.

Kelainan refraksi tersebut disebabkan oleh penggunaan mata untuk melihat dekat layar TV, ponsel dan komputer dalam waktu yang lama. Selain itu, pemakaian gawai berlebihan yang marak, menyebabkan adanya anti social “bertemu tapi tak saling menyapa”.

Anak mulai acuh terhadap lingkungan sekitarnya bahkan tak meghiraukan panggilan orang tua karena terlalu asik dengan gawainya.

Alih-alih belajar daring menggunakan gawai, nyatanya penggunaan tersebut tidaklah pada fungsi sebenarnya.

Fenomena penggunaan gawai pada peserta didik yang luput dari pengawasan orang tua, lambat laun dapat menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat dirasakan efeknya, termasuk saat ini; dimana mereka memaknai dirinya sebagaiamana situs-situs yang tidak seharusnya ditonton, rasa empati mulai hilang, etika sopan santun mulai dikesampingkan.

Gawai sebagai media pembelajaran di tengah pandemi covid 19 dan revolusi 4.0 yang mulanya sebagai berkah, lama-kelamaan menjadi musibah bagi penggunanya.

Gawai barang kecil multifungsi dan fleksibel, dapat dibawa kemanapun dan kapanpun tanpa memberatkan penggunanya, seharusnya menjadi sarana pendukung pembelajaran peserta didik. Nyatanya gawai mulai beralih fungsi sebagai sarana hedonistic dan kriminalitas; peserta didik yang tidak dapat memainkan game dalam gawainya dianggap kuper oleh Sebagian temannya, sehingga terjadi perundungan sosial.

Begitupun banyak tindak kejahatan kriminalis yang didapat dari hasil menonton situs-situs kriminalitas dalam gawai.

Sebagai orang tua yang bertanggung jawab atas kehidupan dan Pendidikan anaknya, menjadwal penggunaan gawai sangat sesuai untuk menghindari ketergantungan.

Di samping itu, pentingnya terlibat langsung dalam mengontrol aktifitas dan memberi pemahaman dasar menggunakan gawai kepada anak sesuai dengan bahasa mereka.

Sikap sadar diri dan sadar tekhnologi harus mulai dikedepankan, untuk menghindari terbuainya anak terhadap dunia fantasi. Menggunakan gawai sesuai fungsi dan tempatnya, tidak berlebihan serta mawas diri terhadap pemanfaatannya.

Jika tidak mampu mengendalikannya maka gawai yang akan mengendalikan aktifitas penggunanya. Secanggih apapun tekhnologi pembelajaran, tidak akan mencapai tujuan pembelajaran tanpa adanya dukungan orangtua. Wawlahua’lam…

 

Penulis : Bintang Rosada, M.Pd
Dosen Bahasa dan Sastra Arab STAIN Madina.

Admin : Iakandar Hasibuan,SE.

Komentar

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.