

Tokoh Seni, Budaya, Penulis Nasional dan Narasumber Askolani Nasution, dihadapan peserta FGD DPD.KNPI Mandailing Natal, menyampaikan dengan tegas dan lugas terkait ” Catatan 26 Tahun Madina,dengan pendekatan sejarah,Sosiologi, Antropologi, dan Kultural ” yg membuat Suasana FGD,Jumat(14/3) di D’San Hotel Panyabungan, hening dan peserta berbisik – bisik.
Apalagi, setelah Askolani Nasution memaparkan tentang Sejarah Mandailing Natal adalah sejarah gemilang.
Belasan kerajaan besar menancapkan pengaruhnya di kawasan Mandailing. Mulai dari Singosari, Majapahit, Sriwijaya, Aru, Pagaruyung, Aceh, hingga Inggris, Portugis, Jepang dan Belanda.
Jejak itu tampak dalam bentuk peninggalan sejarah, baik meriam, benteng, bahkan candi, dan lain-lain.
Kenapa Mandailing menarik? Karena potensi sumber daya alamnya. Emas di kawasan Aek Simalagi sudah ada penambangan sejak abad ke 8-9 masehi.
Emas itu menjadi komoditas ekspor penting melalui pantai Barat Sumatera. Belum lagi hasil rempah.
Panyabungan sudah menjadi transit perdagangan antara pantai Timur dan Barat Sumatera.
Berbagai negara berdagang ke sini. Baik Cina, India, atau Arab. Tetapi, kenapa setelah 13 abad kemudian Panyabungan tidak berkembang? Kecuali sebagai kawasan perdagangan ganja?
Itu persoalannya. Kita tidak pernah membangun daerah ini berdasarkan potensi kultural dan alamnya.
Kita membangun hanya meniru kabupaten lain, bukan karena kebutuhan daerah. Mestinya, dari aspek sejarah itu, pembangunan Mandailing Natal sebagai pusat perdagangan global menjadi pilihan penting.
Potensi lainnya adalah beras. Jepang tidak akan merampas Mandailing dari Belanda kalau bukan karena stok berasnya. Mereka butuh itu untuk Perang Asia Fasifik.
Dan sejak berabad-abad sebelumnya, Mandailing telah menjadi pusat persawahan yang maju.
Itu ditandai dengan temuan arca perunggu Dwi Sri di Tombang Bustak. Itu dewa kesuburan yang identik dengan padi.
Belum lagi potensi kopi. Sebelum Belanda masuk, Inggris sudah mengembangkan perkebunan kopi di sini.
Hingga tahun 1870-an, terdapat 2,8 juta batang kopi di sini. Ekspor kopi melalui pantai Barat Sumatera itu bahkan menjadi andalan utama pembiayaan pemerintah kolonial di Batavia.
Tetapi apa yang kita capai selama 26 tahun Mandailing Natal. Bahkan bebatuan Candi Simangambat akhirnya diboyong ke Cibinong tahun lalu, karena kita tidak mengurusnya.
Padahal, di Sumatera Utara hanya di Mandailing ada tinggalan candi Hindu seperti Candi Simangambat, pragmen candi Siabu dan Saba Biara Pidoli. Itu tanda bahwa peradaban kita sudah demikian maju sejak dulu.
Belum lagi soal efektivitas program-program pemerintah daerah sesuai dengan asumsi-asumsi ekonomi makro.
Misal jika asumsi inflasi sekian persen, laju ekonomi sekian persen, mana di antara program pembangunan kita yang menjadi indikator pemulihan inflasi daerah dan mana yang menjadi indikator laju ekonomi sekian persen. Tidak pernah kita kaji secara mendalam sehingga menjadi acuan yang ilmiah.( Askolani Nasution)
Penulis : Askolani Nasution
Tokoh Seni, Budaya, Penulis Nasional dan Narasumber.
Admin ; Dita Risky Saputri.SKM.