Bukan hal yang mudah mempertahankan sebuah media lokal hingga usia empat tahun. Apalagi buat media daerah yang tidak sepenuhnya mampu mengandalkan beban cost-nya dari iklan sponsor. Karena itu, banyak yang penasaran bagaimana bisa SKM “Malintang Pos” bisa survive di tengah zaman “now” ketika orang tak tertarik lagi dengan huruf.
Apapun rahasianya, perjuangan menjaga kontinuitas deadline tentu bukan hal yang mudah bagi Malintang Pos. Sumber berita mungkin selalu ada, tapi belum tentu semua sesuai dengan misi Malintang Pos. Apalagi dalam zaman ketika medai sosial begitu hingar bingar menawarkan updating rentetan kejadian di sekitar kita. Itu pasti menjadi tantangan besar bagi media, apalagi media mingguan.
Karena itu saya selalu mengatakan bahwa karakteristik media mingguan harus bertahan di genre feature news, bukan straight news. Konsekuensinya, mulai dari pewarta hingga editor harus menyadari beban itu. Jangan mengejar format 5W+1H lagi. Karena ia akan kalah telak bermain di segmen itu. Fokuslah ke berita mendalam, deep report.
Begini. Semua pembaca tentu tertarik dengan kedalaman sebuah peristiwa, apalagi peristiwa yang diyakini menyangkut integritas hidup meraka. Kasus kecelakaan lalu lintas misalnya, pertama orang mengejar 5W+1H saja (apa, siapa, kapan, dimana, mengapa + berapa). Ketika dulu hanya ada koran satu-satunya sebagai sumber informasi, maka format itu yang ditunggu pembaca.
Tetapi ini! Dalam arus informasi yang begitu dinamis, plus peran besar dari media sosial, inti berita seperti itu sudah mudah diketahui, bahkan dalam beberapa menit saja. Misalnya, begitu lampu PLN mendadak mati, segera tayang di Facebook bahwa pohon anu tumbang dan menimpa jejaring listrik di Anu. Format 5W + 1H nya terpenuhi.
Kecelakaan lalu lintas misalnya, sama kasusnya. Segera setelah kejadian akan ada yang update status di FB atau Twiter. Karena nyaris semua orang memiliki media sosial itu. Tapi, tentu orang ingin kejelasan, deskripsi yang mendalam lagi. Misalnya, berapa angka kecelakaan lalu lintas, mengapa ada kecenderungan naiknya angka tersebut, apa signifikansi besaran angka itu terhadap integritas manusia, sisi kebijakan mana yang kurang tersentuh sehingga angka kecelakaan tetap tinggi, partisipasi sosialnya bagaimana, bagaimana peran kepolisian menurunkan angka itu, baik melalui ikatan undang-undang maupun melalui penumbuhan partisipasi sosial, dan seterusnya. Dengan begitu, sebuah peristiwa bukan kejadian yang lepas konteks saja. Sebuah angka bukan sekedar angka statistik saja, minus korelasi dengan adigium-adigium lainnya. Relasi-relasi sosial itu yang sepatutnya menjadi domain jurnalistik berbasis mingguan.
Tentu saja, media mingguan butuh jurnalis yang handal. Pewarta tidak cukup hanya mengandalkan kegesitan mengakses berita saja, memotret, lalu menulis draft berita awal. Pewarta harus bisa melihat suatu peristiwa atas kecenderungan-kecenderungan sosial tertentu, memilih sudut angle berita yang lebih menarik, dan mengemasnya menjadi satuan literer yang dapat membuat pembaca terhenyak. (Angle bukan hanya dalam foto, dalam berita juga ada). Jadi tugas pewarta tidak berhenti ketika teras berita 5W+1H diperoleh.
Berita awal yang diperoleh dari pewarta, harus dikemas lagi oleh redaktur berita yang spesifik (Ada redaktur hukum, bisnis, pendidikan, seni, dan seterusnya). Mulai dari keberimbangan, daya tarik angle, kesesuaian dengan misi media, menyisipkan pesan kemanusiaan, dan ketersedian ruang halaman. Jika sudah oke semuanya, baru masuk ke bagian editor bahasa, memastikan semua literasi sudah sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia, baik dalam ejaan maupun tanda baca. Tentu jaga telah mengemas gaya ungkapan yang lebih memikat. (Majalah “Tempo” misalnya, paragraf awal berita selalu dimulai dengan gaya deskripsi).
Menentukan angle juga butuh kecerdikan. Sebuah peristiwa bisa didekati dari berbagai sudut pandang. Dan masing-masing punya sisi menarik. Kecelakaan lalu lintas misalnya, ada sudut pandang hukum, pendidikan karakter, kepanikan sosial, menguatnya sikap individualistis, anti kemapanan, dan seterusnya. Pewarta harus jeli memilih angle itu sehingga diyakini mampu menarik minat pembaca.
Kembali lagi ke segmen pasar medianya. Kelas sosial yang mana mereka? Kelas intelektual mungkin lebih butuh data. Kelas rakyat menengah ke bawah mungkin tak butuh validitas data, tetapi sesuatu opini berita yang menenangkan. Itu semua memerlukan redaktur yang jeli melihat suatu orientasi pembaca.
Belum lagi persoalan desain, pilihan warna, penempatan ruang, huruf, sentuhan artistik, dan sebagainya. Sehingga, ketika tulisan itu tayang di media, seluruhnya sudah didesain sedemikian rupa untuk “menggemaskan” pembaca. Dan dalam tulisan saya sebelumnya, selalu saya sampaikan betapa pentingnya memahami Desain Komunikasi Visual dalam merancang performance media. Ada warna-warna yang tidak boleh bersintuhan, merah dan biru misalnya haram berdekatan dalam teori DKV.
Dan di atas semua persoalan itu, jujur saya yakin, Malintang Pos menyadari itu. Dan itu tentu butuh awak media yang profesional, gesit, idealis, dan anti-macet; dan tentu tak dapat diperoleh semudah membuka kancing baju. Karena butuh proses. Karena itu Malintang Pos bertahan empat tahun.
Tapi, Malintang Pos juga harus tetap bersolek terus-menerus. Tidak bisa mempertahankan lipstik tampilan yang sama sampai empat tahunan. Se-“cantik-cantik” media, dia akan digilas oleh media lain yang tak jemu bersolek, baik menyangkut gaya pemberitaan, pilihan pengungkapan kalimat, hingga desain komunikasi visualnya. Banyak media yang secara priodik mengubah desain dan layout media mereka.
Terkait pemberitaan, saya setuju dengan segala kritik sosial yang diusung Malintang Pos. Karena itu ruh sebuah media. Tentu karena Malintang Pos bukan media plat merah. Banyak media yang tumbang karena gagal bertahan sebagai media sosial kontrol. Tapi sebaliknya, banyak juga media yang kolaps karena gagal menjaga keseimbangan dengan berbagai kebijakan publik. Majalah sehebat “Tempo” saja pernah dikebiri. “Kompas” bisa bertahan karena ia cerdik menempatkan dirinya di lingkaran kekuasaan.
Akhirnya, saya yakin Malintang Pos akan selalu berbenah, baik dalam isi maupun dandanan. Karena hanya media yang dinamis yang bisa bertahan di zaman yang penuh tantangan ini(Askolani Nasution)
Admin : Dina Sukandar Hasibuan,A.Md