Oleh : Askolani Nasution..*
Bukan hal yang mudah mempertahankan penerbitan pers di Indonesia. Apalagi kalau pers yang terbit di daerah.
Bukan satu-dua yang akhirnya menyerah, tutup, dan karyawannya kehilangan pekerjaan.
Tidak usah jauh-jauh. Di Medan, ibu kota provinsi Sumatera Utara, berapa media akhirnya mati, atau terpaksa pindah ke media online?
Masih persoalan klasik: naiknya harga kertas, minimnya tiras karena minat baca publik rendah, makin tingginya cost produksi, dan seterusnya.
Apalagi di masa Pandemi sejak tahun lalu. Dampaknya memang memukul semua sektor.
Padahal, tidak semua sektor usaha memperoleh bantuan stimulus yang berdampak Covid-19. Termasuk lembaga pers.
Karena itu, jika koran Malintang Pos masih bisa bertahan, itu hal yang patut dibanggakan.
Delapan tahun berjuang untuk tetap terbit, pasti bukan hal yang mudah.
Tentu karena saya paham sekali berapa cost produksi untuk tiras dua ribu eksemplar saja. Belum lagi gaji karyawan, distributor, sewa kantor, listrik, telepon, dan seterusnya.
Mengelola pers di masa ketika informasi begitu berseliweran di medsos, memang bukan hal yang mudah. Pers kalah cepat.
Sebuah berita dalam dua jam saja tidak lagi berita hangat. Media seolah-olah tanpa batas geografis lagi.
Karena itu, berita yang angelnya masih 5W+1H di teras berita, akan segera kehilangan daya tarik.
Jadi, kalau saya harus mengkritisi, Malintang Pos harus mengubah jenis beritanya.
Lebih menarik berita mendalam sejenis feature. Sebuah peristiwa ditulis dari berbagai sudut pandang, tidak hanya pendekatan peristiwa saja.
Katakanlah kecelakaan lalu lintas. Sudut pandangnya mulai dari kajian UU Lalu Lintas, budaya masyarakat sekitar, pendekatan ekonomi, pembangunan infrastruktur jalan, sisi kemanusiaan, dan seterusnya. Tentu juga butuh statistik, baii nasional maupun lokal.
Semua diulas secara mendalam dan komprehensif. Dengan begitu pers tidak lagi sebatas bysumber informasi, tetapi juga sumber kebijakan publik.
Selama koran mingguan atau bulanan masih berorientasi pada berita aktual, ia akan kehilangan pembaca.
Untuk itu tentu Malintang Pos butuh redaktur yang kuat. Ada redaktur ekonomi, redaktur kebijakan publik, hukum, sosial, kriminal, budaya, teknologi, dan seterusnya. Dengan begitu, ulasan satu peristiwa bisa lebih mendalam dan variatif.
Tentu juga butuh tim data dan dokumentasi. Tim itu selain menyuplai data juga mampu merumuskan satu peristiwa atas berbagai matrik sudut pandang.
Malintang Pos saya kira harus mulai berpikir tentang jurnalisme feature itu.
Akhirnya, selamat ulang tahun ke-8 Malintang Pos. Semoga tetap menjadi pilar ke empat demokrasi.
Admin : Dita Risky Saputri,SKM.