

BELAKANGAN Ini di daerah Kabupaten Mandailing Natal, khususnya warga miskin selalu diliputi berbagai macam masalah, bukan saja hak-haknya yang kerap kali diabaikan pemerintah, tetapi ketika warga miskin sakit, maka banyak “Kambing Hitam “ dibuat oleh pemerintah, padahal Undang-Undang mengatur, bahwa itu adalah tanggung jawab pemerintah, bukan tanggung jawab Aktivis Sosial.
Kita ambil contoh, warga yang bernama Waldi Rahmat Sutra, anak dari Keluarga Miskin pasangan dari Wati (45 ) dan Khaidir (50 ) Warga Desa Sasaran Kecamatan Natal, setelah viral di media sosial ataupun Online, akhirnya oleh Pengurus IPK dan Ormas lainnya memboyongnya untuk berobat ke RSUD Panyabungan dan memang spontan anggota DPRD dari Fraksi Hanura Eveline Sago menjenguknya untuk memberikan bantuan, serta turunnya Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, kita ucapkan terima kasih.
Bagaimana dengan Inayah Husna anak dari Wrmin dan Mariani penduduk Desa Pasar VI Kecamatan Natal yang juga sudah dirawat di RSU Husni Thamrin Natal, setelah diperintahkan Camat Natal Riplan Nasution, untuk diopname, walaupun sebenarnya kedua orangtuanya enggan untuk membawanya dimungkinkan karena faktor biaya disebabkan miskin.

Serta, bagaimana dengan Muhammad Yazid Hasibuan Penduduk Desa Roburan Lombang Kecamatan Panyabungan Selatan yang sangat pintar sejak sekolah SD,SMP dan SMA yang sekarang semacam lumpuh disebabkan biaya yang tidak ada disebabkan orangtuanya telah menjual segala miliknya untuk biaya perobatan dan sekarang tidak berobat lagi, hanya menunggu kebaikan dermawan dan pemerintah.
Dan, bagaimana dengan warga Desa Bange Nauli Kecamatan Bukit Malintang, serta dengan dua anak yatim warga Desa Malintang Julu juga Kecamatan Bukit Malintang, yang seluruhnya persoalan warga miskin yang memang mempunyai BPJS, tetapi bagaimana dengan biaya hidup keluarganya jika si anak berobat di RS(Rumah sakit), apakah pemerintah dan DPRD pernah memikirkan hal itu, atau apakah ada ditampung dalam APBD Mandailing Natal, setiap tahunnya untuk mengatasinya, hanya pemerintah yang bisa menjawabnya.
Perlu kita ingat bersama, bahwa Masalah status gizi masyarakat Indonesia kini sedang diliputi suasana keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak, kelangkaan dan mahalnya sejumlah bahan kebutuhan konsumsi masyarakat, seperti kedelai, jagung dan terigu berdampak besar terhadap asupan gizi warga masyarakat.

Ini tentu berakibat buruk bagi keluarga miskin di Indonesia yang kini jumlahnya masih sangat tinggi.Dampak paling buruk dari kekurangan, kelangkaan dan mahalnya bahan kebutuhan pangan rakyat ini memperbesar masalah gizi buruk, terutama anak balita di Indonesia.
Bayangkan, Harga kedelai yang mencapai Rp 8.000 per kg, justru jauh lebih mahal dibanding beras. Kedelai sebagai bahan utama pembuat tahu, tempe dan susukedelai kini memang berharga mahal.
Ini akan membuat setiap keluarga miskin semakin sulit membeli tahu-tempe yang dulu murah tetapi bergizi tinggi. Sebagai gantinya, semakin banyak orangtua yang terpaksa hanya memberi makan dengan lauk kerupuk kepada anaknya.
Data dari Depkes menunjukkan, Indonesia sebenarnya pernah berhasil menekan angka kasus gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita. Yakni menjadi 37,5%(1989), 35,5% (1992), 31,6 % (1995), 29,5% (1998), 26,4% (1999), dan 24,6%(2000).

Namun, angka-angka tersebut kembali meningkat. Yakni menjadi 26,1%(2001), 27,3% (2002), 27,5% (2003), dan 29% (2005).Antara 1989-2000 intervensi gizi dari pemerintah memang lebih cepat dilakukan saat petugas menemukan kasus gizi kurang atau gizi buruk pada anak balita.
Hal itu,menurut hasil penelitian, karena masih berfungsinya pos pelayanan terpadu (posyandu) dan tenaga-tenaga medis wajib praktik yang menjangkau hingga ke pelosok-pelosok daerah.
Namun, saat ini, dari 250.000-an posyandu di Indonesia tinggal 40% yang masih aktif. Jadi, praktis tinggal sekitar 43% anak balita yang terpantau. Tantangan penanggulangan masalah gizi bahkan terasa lebih besar sejak era otonomi daerah.
Walaupun kini pemerintah daerah (pemda) sebenarnya berperan lebih besar untuk mengatasi tantangan tersebut, namun realitasnya tidak selalu demikian.
Bila kita mengacu pada garis kemiskinan menurut standar organisasi pangan sedunia (FAO), yakni penghasilan 2 dolar AS per hari, maka kini lebih dari 110 juta jiwa Indonesia (53% dari total penduduk) masih di bawah garis kemiskinan.
Sebab itu, mustahil kita bisa mengatasi masalah gizi kurang dan gizi buruk di masyarakat tanpa adanya upaya perbaikan ekonomi di dalam rumah tangga.

Ini merupakan tantangan bagi pemerintah agar segera mengendalikan harga sembako, memberdayakan ekonomi rakyat kecil, dan memacu aktivitas posyandu.Sebelum harga kedelai meroket saja kita masih sulit mengatasi kasus gizi buruk di Tanah Air. Misalnya di DKI Jakarta, Bogor, NTB, NTT, Gorontalo, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sejumlah provinsi lainnya. Padahal waktu itu harga tahu-tempe masih murah.
Jadi, kalau pemerintah sampai gagal dalam mengembalikan harga kedelai ke posisi semula, kasus gizi buruk bisa semakin parah. Ini harus cepat teratasi. Bila tidak, dampaknya sangat buruk bagi sumber daya manusia (SDM) Indonesia,sekaligus merupakan ancaman lost generation. Lebih-lebih Indonesia masih menghadapi tingginya angka kemiskinan dan pengangguran.
Faktor kemiskinan sering menimbulkan kasus gizi buruk, sebab tekanan ekonomi membuat kuantitas maupun kualitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga menjadi rendah. Faktor penyebab yang lain adalah kurangnya pemahaman tentang masalah gizi, buruknya pelayanan kesehatan, dan kondisi lingkungan( Bersambung Terus ) .
Admin : Siti Putriani Lubis