Siapa sih yang tidak mengenal kantor Redaksi Malintang Pos? Cobalah jalan-jalan sore ke jalan Bermula Raya, sebuah jalan yang ramai, Jalan yang diapit dengan nama jalan yang sama dikanan kiri mulai dari Bermula satu hingga tujuh..Ya…jalan yang untuk ukuran kabupaten sudah tergolong mulus, selain jalan pemintasan yang menghubungkan beberapa desa/ kelurahan, jalan ini juga cukup penuh dengan hilir mudik lalu lintas. Jalan yang bisa menginspirasi sebuah pergelutan pemikiran namun juga mengisahkan perjuangan kehidupan bagi para warganya. Jalan yang mengilhami para anak muda untuk menorehkan kisahnya. Dari jalan inilah kisah heroik itu bermula. Sebuah kisah sekaligus impian untuk mewujudkan harapan para pendahulu dari pendiri sebuah koran yang diberi nama Malintang Pos, nama yang diambil dari daerah dimana ari-ari pendiri surat kabar ini ditanam. Perjalanan panjang yang sarat dengan perjuangan, pengorbanan, kecemasan, kegembiraan dan kekhawatiran itu disatupadukan dalam sebuah tagline “Berani dan Tangguh Membela Kepentingan Rakyat”, tagline yang menurut pendiri surat kabar ini saat bincang bincang disore hari dua tahun yang lalu disebuah kedai didekat komplek perkantoran Bupati Lama, Panyabungan merupakan wasiat dari almarhum orang tuanya. Dari jalan ini jugalah,- ide, gagasan, visi dicetuskan untuk mengerahkan segala potensi dan inovasi dalam kerangka memflow-up harapan orangtuanya sekaligus juga ekspektasi public. Dengan bekal seadanya, Iskandar Hasibuan, sosok yang dikenal low profile menuangkan kemahiran ilmu jurnalisnya dalam tulisan-tulisan yang bernas dan menggigit. Dijalan ini, kemudian para multi talent seperti Dahlan Batubara, Ludfan Nasution dan Maradotang Pulungan menggabungkan diri. Dijalan ini juga kemudian, mereka yang saya sebutkan tadi menerima “Parang” dari kelompok mahasiswa yang dipersonifikasikan sebagai simbol keberanian untuk tetap tegak lurus membela kepentingan rakyat. Itu terjadi empat tahun yang lalu, ketika itu jalan Bermula Raya tidak seramai yang sekarang. Ketika suara knalpot sepeda motor dan mobil belum memekakkan telinga, ketika jalanan masih berlubang dikanan kiri dan belum semulus sekarang ini, ketika perumahan warga belum sepadat yang sekarang. Jalan Bermula Raya menjadi jalan bersejarah bagi mereka, jalan yang
menjadi saksi atas keteguhan dalam perkataan dan perbuatan. Jalan yang bisa mendatangkan rezeki dan juga jalan tempat cemoohan dari orang atau kelompok yang merasa “risih” dengan berita yang ditampilkan. Jalan ini menjadi penanda sejarah tentang kehebatan gagasan. Jalan yang menjadi “Univercity Of Ideas” bagi mereka yang mendedikasikan hidupnya bagi kemaslahatan masyarakat. Sesuatu memang harus berubah. namun ada yang tidak diperbolehkan untuk berubah. Mereka sudah sangat mengerti dan memahami ini karena jika ini terpaksa dan dipaksa untuk berubah ini sama saja artinya mereka bunuh diri. Dan ini sudah pasti tidak akan disesali banyak orang. Empat tahun sudah tagline itu diabadikan dan diimplementasikan pada ranah empirik. Empat tahun juga sudah mereka lakoni peran dengan julukan pewarta kebaikan yang memposisikan diri sebagai penyambung lidah masyarakat. Tentu saja, umur empat tahun masih tergolong balita namun kegesitan, kelincahan, kepandaiannya mampu mengalahkan usianya. Mereka menjadi “Diurnarii“, yakni orang-orangyang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat pada papan “Acta Diurna” dalam sejarah Yunani kuno yang diyakini merupakan asal muasal sejarah jurnalistik dunia. Dengan telaten dan penuh kebersahajaan, mereka sudah berhasil mencatat sejarah. Menuliskan sejarah sendiri dengan gemilang tanpa seorangpun yang bisa mengingkarinya termasuk bagi mereka-mereka yang kerap merasa “gerah” karena isi berita yang menohok. Sebuah proses pencarian jati diri sudah terlewati tanpa meninggalkan cacat dan cela. Lihatlah setiap sore, mereka akan berkumpul dikedai didepan Hotel Rindang. Suatu hal
yang sangat menarik jika anda pernah terlibat diskusi disitu, sesuatu menegaskan bahwa bagi mereka berkumpul itu bukan hanya kewajiban silaturrahim namun lebih dari itu diproyeksikan sebagai proses mencari inspirasi sembari ngopi. Dalam posisi ini, mereka tak ubahnya JK. Rowling, John Green, Suzanne Collins, Andrea Hirata, atau Kahlil Gibran dengan imaginasi liar yang menerawang ide dimasa depan. Berawal dari jalan Bermula Raya, kini hampir semua segmen masyarakat sudah mengenal Malintang Pos. Peran Malintang Pos dalam mensirkulasikan informasi tentang ke-Mandailing Natal-an di seluruh penjuru Indonesia menjadi penting dan urgen sebagai media yang mencerdaskan plus mencerahkan. Sebagai koran bersejarah, Malintang Pos ditengah kepungan media sosial dan online yang begitu luar biasa masih tetap bisa rutin menjumpai pembacanya dan ini saya nilai sebagai prestasi yang prestisius.
Saya pernah mengatakan kepada salah seorang wartawan Malintang Pos, bertahan saja teman-teman dalam kondisi sekarang ini, itu sudah sangat luar biasa apalagi membuat inovasi guna mengejar angka pertumbuhan. Ini sesuatu yang patut untuk disyukuri. Maka kemudian lahirlah Mandailing Pos Online dan juga pertambahan halaman guna mengakomodor berita dari daerah kabupaten/ kota lainnya. Tak kenal menyerah, mereka dengan setia menyapa masyarakat setiap hari Senin tanpa mengenal kata terlambat. Saya haqqul yakin, selain kerja keras dan kesungguhan wartawan dan karyawan Malintang Pos membenahi ini, konstribusi masyarakat, pembaca, mitra dan pemangku kepentingan didaerah juga sangatlah besar. Sehebat apapun mereka mengelolanya, jika tidak mendapatkan kepercayaan dan dukungan public, tentu tidak aka nada artinya sama sekali. Salah satu point yang saya acungi jempol bagaimana kemudian publik secara nyata telah menganggap Malintang Pos sebagai tempat pengaduan atas keluh kesah yang dialami. Secara politis, ini memiliki makna bahwa Malintang Pos sudah dapat disejajarkan dengan lembaga formal negara lainnya yang memang memiliki fungsi sebagai artikulasi kepentingan masyarakat. Malintang Pos telah mendapatkan legitimasi non formal sebagai tempat yang diyakini publik bisa menuntaskan persoalan persoalannya. Kedepan, apapun situasi dan tantang yang dihadapi, Malintang Pos harus sadar bahwa sebagai lembaga pers, harus tetap berkewajiban menjaga fungsi idealnya sebagai pengemban misi edukasi dan sosial control yang tidak boleh lengah untuk mengabarkan setiap tindakan dan juga kebijakan yang dinilai dapat menyengsarakan masyarakat. Karena itulah musuh abadi Malintang Pos sejak dilahirkan empat tahun lalu.
Kendatipun, Malintang Pos telah banyak berkonstribusi dalam mengimbangi dinamika informasi daerah dan juga nasional utamanya pengarustamaan isu politik lokal, ekonomi, sosial dan yang lainya, bukan berarti Malintang Pos tidak banyak mendapatkan kritikan dari masyarakat.Jadikanalh ini sebagai aupan gizi yang bisa menambah nutrisi bagi jajaran redaksi. Sebagai suarat kabar lokal, Malintang Pos sudah tergolong bagus dengan kualitas reportasenya dan begitu juga dengan materi berita. Tak hanya isu atau wacana yang dihembuskan, akan tetapi juga fakta faktual mampu disajikan sehingga bisa memberi warna dalam dinamika sosial kemasyarakatan. Menyambut milad yang ke-4 ini, tentunya selain wajib bersyukur yang ditandai dengan peningkatan capaian dimasa yang akan datang, sangat perlu juga “musahabah” guna mengetahui titik-titik kelemahan selama ini. Tidak sedikit kelemahan dan kekurangan yang harus dibenahi. Salah satunya yang sering dikeluhkan pelanggan, soal mutu cetak yang belum maksimal, banyaknya tata bahasa yang asal-asalan, cara penulisan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa, penajaman analisa kasus, dan sebagainya dan sebagainya. Tahun yang lalu, saya pernah mengusulkan perlunya redaktur bahasa guna memperindah bahasa yang akan disajikan. Selain itu, sudah saatnya saya melihat Malintang Pos mempelopori kembali gairah public untuk berdiskusi. Dulu sudah ada program “The Rindang Magnititude”, yang entah kenapa kemudian tidak pernah lagi dilaksanakan. Diskusi yang saya maksud disini adalah menghadirkan narasumber untuk disiplin ilmu tertentu di kantor redaksi, bisa jadi pada saat yang bersangkutan sedang kunjungan ke Madina, lantas kemudian “diculik” beberapa jam untuk diskusi terbatas dimeja redaksi sehingga kemudian harapan kita para wartawan Malintang Pos sedikit banyaknya mendapatkan penambahan ilmu sebagai penunjang kinerjanya. Dan yang cukup menggelitik juga bagi saya, satu tahun terakhir ini saya menilai kolom opini yang dahulu saya sering menuliskan opini pribadi sepertinya sudah lama “raib” padahal menurut saya kolom opini ini disetiap surat kabar merupakan wadah untuk menampung kegelisahan, kecemasan, kritikan, tanggapan terhadap setiap kebijakan atau peristiwa. Salah satu kekuatan surat kabar Waspada terletak dihalaman opini sehingga redaksi harus ikhlas merelakan dua halamannya. Pertanyaannya kenapa Malintang Pos tidak menganggap kolom opini ini penting? Tapi apapun itu adanya, satu hal yang pasti dan sudah terbukti.Mereka sudah tercatat dalam sejarah panjang perkembangan jurnalis dikabupaten ini. Berawal dari rumah dijalan Bermula raya, kini mereka sudah menyapa Indonesia…DIRGAHAYU…!!!
Admin : Dina Sukandar Hasibuan,A.Md