Oleh: Catur Alfath Satriya.
Operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap dua menteri kabinet Presiden Jokowi mengindikasikan bahwa negeri ini masih dalam status darurat korupsi.
Di tahun 2020, sudah ada 7 pejabat yang terkena operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Operasi tangkap tangan ini membuktikan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi masih bertaji dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Di sisi yang lain operasi tangkap tangan ini merupakan sinyal keras bahwa Presiden Jokowi harus mengevaluasi kembali komitmen para menterinya terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi harus dipandang sebagai extraordinary crime yang berdampak sistemik terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ekonom Indef, Faisal Basri dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa yang menjadi masalah nomor satu yang berdampak terhadap perekonomian negeri ini adalah korupsi dan birokrasi yang tidak efisien.
Berkembangnya praktik rent-seeking dalam proses pengambilan kebijakan di negeri ini menyebabkan ekonomi Indonesia berbiaya tinggi karena para pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya harus setor sana sini agar bisnisnya lancar.
Praktik rent-seeking dalam hukum di Indonesia dikategorikan sebagai pidana korupsi suap yang saat ini sedang terjadi di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia dengan tersangka adalah menteri KKP itu sendiri yaitu Edhy Prabowo.
Secara teoritis, praktik rent-seeking muncul karena adanya kekuasaan untuk menentukan sumber daya.
Hal ini yang membuat kekuasaan untuk membuat kebijakan menjadi bernilai (valuable).
Apabila dimanfaatkan dengan tidak baik, maka yang terjadi adalah akumulasi modal atau penumpukan kekayaan oleh pemegang kekuasaan tersebut.
Praktik seperti ini yang menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami perlambatan.
Rent-seeking dan partai politik
Salah satu penyebab terjadinya praktik rent-seeking adalah kacaunya sistem keuangan partai yang tidak transparan dan akuntabel.
Para pejabat tinggi dibebankan “kewajiban tidak tertulis” untuk menyetor sejumlah dana kepada partai politik. Perihal ini pernah dituliskan oleh Marcus Mietzner dalam artikelnya yang berjudul “Party financing in post-Soeharto Indonesia”.
Di dalam artikel tersebut, Marcus Mietzner melakukan sebuah wawancara dengan seorang bendahara partai A yang mengaku tidak tahu-menahu sumber dana yang diperoleh partainya secara utuh.
Sumber dana tersebut dilakukan secara informal melalui koneksi dekat aktor partai dengan pengusaha tertentu Dana gelap tersebut tidak pernah terdokumentasikan dengan baik penggunaannya untuk apa dan bagaimana pertanggung jawabannya juga tidak pernah jelas.
Instrumen regulasi yang ada seperti Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Partai Politik belum bisa menyentuh permasalahan tersebut.
Praktik rent-seeking pada umumnya dilakukan oleh para pejabat tinggi yang berasal dari partai politik.
Oleh sebab itu, praktik rent-seeking termasuk dalam political corruption yang mana korupsi tersebut dilakukan oleh elite politik dengan “bungkus” kebijakan yang pada akhirnya ternyata menguntungkan sekelompok pihak atau diri sendiri.
Salah satu gagasan untuk mencegah terjadinya praktik rent-seeking adalah menggunakan pendekatan tanggung jawab korporasi (corporate criminal liability) dalam penegakan hukum terhadap kader partai politik yang melakukan korupsi.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ketika para elite partai politik melakukan korupsi pertanggung jawabannya hanya dilakukan secara personal.
Hal ini memberikan kesan bahwa korupsi hanya merupakan masalah moral individu semata bukan masalah sistem.
Padahal, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya sistem keuangan di dalam partai politik secara langsung maupun tidak langsung mendorong perilaku para kadernya melakukan tindakan yang koruptif.
Tindakan koruptif ini semakin menjadi ketika kader partai politik tersebut menjadi pejabat tinggi karena target setoran ke partai politik juga semakin tinggi.
Di dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Korporasi dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Berdasarkan definisi ini Partai Politik yang merupakan badan hukum termasuk dalam Korporasi yang mana secara hukum bisa dikenakan pertanggung jawaban korporasi apabila ada salah satu kadernya yang melakukan korupsi.
Apabila ini bisa diterapkan tidak menutup kemungkinan partai politik diharapkan kedepannya akan mereformasi sistem keuangan partai politik yang selama ini bermasalah, tidak transparan, dan tidak akuntabel.
Selain itu, dengan diterapkannya pertanggung jawaban korporasi, partai politik diharapkan mampu mendidik para kadernya untuk tidak melakukan perbuatan yang koruptif ketika menjadi pejabat tinggi di republik ini.(Catur Alfath Satriya.)
Admin : Dita Risky Saputri,SKM.