“Kyai bilang internet itu eternit” begitulah salah satu kutipan guyonan Gus Dur sebagaimana disinyalir dalam okezone.com (20/11/2019) menggambarkan sosok masyarakat Indonesia yang takjub akan kecanggihan.
Masyarakat Indonesia memang dari zaman nenek moyang kita sudah sangat canggih, mereka bilang mampu berkomunikasi dengan oran lain di lain tempat tanpa alat apapun lho? Mereka juga bilang kalau mampu memprediksi cuaca, kapan akan terjadi musim hujan dan kapan terjadi musim kemarau. Masyarakat kita memang super, beberapa kalangan menyatakan diri mampu belajar tanpa harus beli buku. Mereka pun juga bila dapat terbang ala-ala Superman.
Beberapa fakta memang menunjukkan demikian, artsitektur candi-candi di Negara ini menunjukkan betapa majunya kebudayaan masyarakat kita. Alat musik pertama yang terbuat dari logam juga berkembang di Negara ini. Kerajinan logam seperti keris dan lainya juga tidak luput dari kecerdasan masyarakat kita dalam bidang industri logam. Namun demikian, ada beberapa kalangan yang canggihnya kebablasan, bagaimana tidak? Mereka mengklaim mampu mengirim paku dalam perut orang dari jarak jauh seperti layaknya jual beli online “tinggal klik lalu barang datang!”
Karena saking bangganya dengan kecanggihan di masa-masa awal mereka, mereka tidak kaget bila kemudian muncul teknologi komunikasi jarak jauh “Handphone”, mereka tidak kaget bila Smartphone mereka bisa diajak bicara melalui teknologi artificial intelgence”. Mereka bahkan sudah terbiasa kalau lampu-lampu dan berbagai alat rumah tangga yang berbasis elektronik lainya bisa bergerak sendiri dengan cukup sekali “perintah”. Konon katanya? Itu sama dengan ketika mereka memerintah jin-jin untuk menuruti perintah mereka, termasuk menggerakan dan mendatangkan barang secara ghaib.
Berdasarkan kecanggihan mereka tersebut, akhirnya mereka tidak tidak terlalu kaget bila kemudian ditengah pandemi covid-19 ini pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan antara lain social distancing, phisycal distancing dan yang termasuk menjadi sorotan adalah sistem pembelajaran daring yang dihimbaukan kepada seluruh jenjang lembaga pendidikan di seluruh Indonesia.
Perguruan tinggi di Indonesia akhirnya melakukan optimasi sistem e-learning mereka, sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai pada tingkat menengah juga menerapkan hal yang sama, berbagai platfrom-platfrom pembelajaran digital seperti Ruangguru, Cakap, Ilmupedia dan lainnya turut bergembira menyambut himbauan pemerintah tersebut. Media pembelajaran online seperti zoom, google classroom, google meet dibanjiri oleh pendidik dan peserta didik. Termasuk juga media sosial seperti whatsapp, facebook, telegram dijadikan sarana pembelajaran online. Berbagai provider kuota-kuota internet melakukan kebijakan gratis kuota dan diskon di sana sini.
Demikian halnya dengan masyarakat kita, saking cepatnya mereka beradaptasi terhadap kecanggihan teknologi media sosial dijadikan ajang curhat sehingga muncul status-status hebat seperti “ kampus lockdown, tugas smackdown, mahasiswa down”. Bahkan muncul juga status “kuliah online? Kena corona enggak, gila iya” atau “kuota sekarat, ilmu tak dapat”. Begitulah kecepatan masyarakat kita dalam merespon sistem kebijakan pembelajaran daring yang dihimbau oleh pemerintah kita. Nampaknya, saking terbiasanya dengan media komunikasi ilmu kebatinan, media transfer paku dalam perut orang lain, media pembelajaran cepat tanpa buku “laduni” akhirnya mereka menganggap kebijakan tersebut sebagai hal biasa-biasa saja. Masih luar biasa kecanggihan nenek moyang kita.
Demikian halnya yang terjadi dengan orang tua yang anak-anaknya diberikan tugas secara daring, orant tua diperintah untuk mengirim foto, melakukan upload dokumen via group whatsapp, editing video presentasi anaknya dan lain sebagainya. Seperti kata ibu rumah tangga dalam laman humor nu.or.id (29/03/2020) lalu yang memasak lauk daun setiap hari untuk mengikuti kebijakan pemerintah terkait penanganan covid-19. Dalam ilustrasi humor tersebut si ibu bilang “Lho, kebijakan pemerintah sekarang ini kan kita disuruh lauk daun. Biar enggak kena virus corona.” Kemudian si suami menyahut “itu lockdown, bukan lauk daun”. Ilustrasi tersebut menggambarkan betapa ibu rumah tangga merespon seluruh kebijakan pemerintah, termasuk di dalamnya perihal pembelajaran online bagi anak-anaknya.
Nampaknya, kebijakan pembelajaran daring sebagai himbauan pemerintah atas antisipasi covid-19 ini membawa nilai positif bagi perkembangan teknologi informasi di Indonesia. Arah penggunaan smartphone yang awalnya didominasi oleh media sosial fun, seperti tik tok, facebook, youtube dan status alay di whatsapp akhirnya berubah dan mulai dipenuhi dengan banyaknya instalasi media pembelajaran online seperti Ruangguru, google classroom, skype.
Di lama-laman facebook dan youtube banyak bermunculan tutorial penggunaan media pembelajaran online melalui berbagai aplikasi. Orang tua yang dulunya gaptek (gagap teknologi) harus ikut belajaran teknologi bersama dengan anaknya, sehingga mengharuskan mereka meletek (melek teknologi). Guru dan dosen kini menjadi youtuber-youtuber handal, membuat video animasi dan slide presentasi semenarik mungkin.
Alat-alat sharing file seperti google drive, dropbox dan lain sebagainya pun juga turut mengalami peningkatan jumlah unduhannya. Akhir kata, ditengah kebijakan lockdown dan sistem pembelajaran daring ini semoga masyarakat bertransformasi dari yang awalnya gaptek menjadi melek teknologi. Dari awalnya memanfaatkan smartphone untuk eksis diri, berubah menjadi smartphone sebagai sarana pengembangan diri.
Sekali lagi, setelah wabah ini teratasi semoga masyarakat kita berevolusi menjadi masyarakat yang melek teknologi.
Penulis : Muttaqin Kholis Ali, Guru Komputer SMA Negeri 1 Tambangan, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Mahasiswa Pascasarjana UNP dan Pegiat Literasi Nasional