Bagi orang Mandailing, musim durian memiliki banyak makna. Dulu, masa ketika masih hidup falsafah “Sa Anak Sa Boru”, biasanya keluarga yang “saparompuan” punya ladang durian milik bersama, yang dijaga secara bergantian (siang dan malam) antara satu keluarga dengan keluarga lain (dalam beberapa keluarga batih yang satu nenek). Atau kadang kita mengundang keluarga yang tinggal di luar kampung, lalu diajak “manjago tarutung”. Selama menunggui durian jatuh, keluarga berkumpul di pondok sambil memasak “sipulut” atau lemang. Dan sebagian yang jatuh dimakan bersama, sisanya untuk “silua” tamu yang “mangulangi” tadi. Durinya digunduli, dimasukkan ke karung, lalu dijadikan oleh-oleh. Karena itu, dalam satu petak sawah, selain ditanami padi, selalu disisihkan beberapa “lupak” untuk “Sipulut”. Gunanya, selain untuk membuat “alame” atau “lomang”, juga untuk membuat “kotan” (campuran pulut dengan kelapa kukur yang belum terlalu tua). Atau subuh-subuh, selalu ada yang menjual “kotan” untuk sarapan pagi, atau untuk dibawa ke ladang duren tadi.
Dan tidak semua tahu, banyak orang tua di Mandailing yang suka menjadikan durian sebagai kawan nasi. Cuma durian tok dengan nasi putih. Selain itu durian juga dijadikan falsafah “ulang songon ambasang, limus di luar marjabut di bagasan, tagenan do songon tarutung, marduri pe di luar lambok ibagasan.” Dan dalam cerita-cerita disebutkan bahwa melalui buah durian manusia dan harimau bisa saling berbagi. Puluhan kali ada cerita manusia dimangsa harimau, tapi belum pernah saya dengar harimau memangsa manusia saat berebut durian jatuh. Artinya, di bawah pohon durian, ada etika.(Askolani Nasution).