JAKARTA(Malintangpos Online): Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai aktor utama yang terjerat dalam kasus penyalahgunaan dana desa adalah para kepala desa (kades).
Dari hasil pantauan ICW per Agustus 2017, kades yang menjadi aktor utama penyalahgunaan dana desa mencapai 112 orang. Jumlahnya meningkat sejak tahun 2015 yang terjerat ada sebanyak 15 orang, meningkat tahun 2016 menjadi 32 orang, dan 2017 meningkat lagi menjadi 65 orang.
“Pelakunya tidak seluruhnya kades ada 32 orang perangkat desa dan 3 orang keluarga dari kades itu sendiri,” ujar Divisi Riset ICW, Egi Primayogha saat diskusi media Outlook Dana Desa 2018 di Kantor ICW, Senin (5/2).
Ia mengatakan, kasus korupsi di desa memang tidak fokus pada anggaran saja. Pihaknya juga melihat objek-objek non anggaran dan hal tersebut sangat memprihatinkan karena secara jumlah meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan pemantauan ICW, sejak 2015 hingga 2017, peningkatannya selalu dua kali lipat. Pada tahun 2015 terdapat 17 kasus dan meningkat menjadi 41 kasus pada 2016 dan 96 kasus pada 2017 sehingga total sepanjang tiga tahun itu ada 154 kasus.
“Kami menemukan objek anggaran desa yang dikorupsi mencapai 85 persen atau 127 kasus. Sisanya non anggaran desa 27 kasus atau 18 persen dari jumlah kasus. Misalnya kasus pungutan liar aparat desa. Kalau objek kasus anggaran desa mencakup korupsi Alokasi Dana Desa (ADD), dana desa, kas desa, dan lainnya,” jelasnya.
Ia mencontohkan kasus yang menimpa Kepala Desa Dassok di Kabupaten Pamekasan karena kades-nya terlibat dalam dugaan suap ‘pengamanan’ kasus pengadaan yang menggunakan dana Desa Dassok. Kasus ini, terangnya, merupakan satu-satunya kasus dana desa yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kepala desa tidak bisa dijerat oleh lembaga anti rasuah tersebut karena terkait aktor utama Bupati dan Jaksa di wilayah itu.
Kerugian negara atas korupsi dana desa pun cukup besar. Tahun 2015 kerugian negara mencapai Rp 9,12 miliar, tahun 2016 mencapai Rp 8,33 miliar, sedangkan tahun 2017 mencapai lonjakan cukup besar yakni Rp 30,11 miliar sehingga total menjadi Rp 47,56 miliar. Jumlah tersebut, katanya, setara dengan alokasi dana desa di APBN untuk 77 desa.
“Modusnya macam-macam. Kami menemukan paling banyak praktik penyalahgunaan anggaran sebanyak 51 kasus, penggelapan 32 kasus, laporan fiktif 17 kasus, proyek fiktif 15 kasus, dan penggelembungan anggaran 14 kasus,” katanya.
Faktor penyebab korupsi di sektor desa juga banyak, diantaranya karena minimnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan anggaran desa, tidak optimalnya Badan Permusyawaratan Desa, terbatasnya kompetensi kepala desa dan perangkat desa, serta tingginya biaya politik pemilihan kepala desa.
Sementara itu, Divisi Korupsi Politik ICW, Almas Sjafrina mengatakan, korupsi di sektor desa ini menjadi trend baru di Indonesia. Dana desa dan ADD disebutkannya menjadi dua pos anggaran desa yang rawan disalahgunakan terutama untuk pemenangan pemilu. Potensi anggaran yang mengalir ke desa untuk kepentingan pemilu mulai teridentifikasi sejak tahun 2015.
“Jadi tahun 2018 anggaran desa, baik dan desa maupun ADD semakin rawan disalahgunakan. Alasannya adalah politik karena 2018 kita menghadapi kontestasi politik di 171 daerah. Pemilu Presiden dan pileg tahapannya akan dimulai September 2018,” jelasnya.
Pihaknya melihat, dana desa menjadi salah satu alat atau bargain utama untuk pemenangan pemilu. Terutama di daerah yang kepala daerahnya maju kembali atau petahana. [D-14/ICW/Red]
Dikutif dari Berita ICW
Admin : Dina Sukandar Hasibuan