LGBT
Sangat menarik sekali ketika kita dihadapkan pada persoalan ini. Bukan hanya membicarakan LGBT yang membuat topik ini menarik, namun adanya kepentingan yang melatarbelakangi kenapa LGBT tetap eksis dan menjadi sebuah kelompok yang mendapat penolakan dan pembiaran (eksistensi semu). Perlu dipahami bahwa LGBT di Mandailing Natal tidaklah meliputi semua jenis dari dari LGBT itu sendiri. Mandailing Natal yang kerap mendapat julukan sebagai kabupaten yang relegeius ini, tak dipungkiri bahwa Lesbi dan Gay sudah mendapat ruang dan kesempatan berkembang di tengah-tengah masayarakat.
Untuk meruncingkan istilah dari tulisan ini, saya lebih fokus menyoroti Lesbi dan Gay. Lesbi bukanlah barang baru, tapi kelompok ini cendrung lebih sedikit dan susah untuk ditebak. Jika ingin menetapkan mereka sebagai Lesbi amat begitu rumit. Secara fisik kebanyakan mereka tidak memiliki perubahan, hanya kadang kita memperidiksi mereka lewat model pakaian yang kelaki-lakian dan biasanya mereka juga perokok sebagi sinyal bahwa mereka ingin membedakan diri dari perempuan dan mereka menampilkan diri di ruang publik dengan penampilan yang menyalahi kodrat perempuan pada umumnya. Walaupun begitu kita tidak bisa cepat mengambil kesimpulan karena banyak juga dikalangan para permpuan saat ini yang merokok tapi bukan Lesbi. Begitu juga dengan modis yang kerap mereka gunakan, potongan rambut yang begitu pendek dan asesoris yang dikenakan menyerupai milik pria bahkan sama tak ada beda. Lagi-lagi meskipun demikian kita tidak bisa memvonis bahwa ia seorang Lesbi, karena apa yang mereka kenakan saat ini memang sudah menjadi trendi masa kini. Walhasil mereka ada dan eksistensinya sangat semu.
Gay sangat berbeda dengan Lesbi baik dari segi identitas yang mudah dikenali maupun dari banyaknya populasi dan komunitas mereka, sehingga mereka lebih berani memperlihatkan diri di ruang publik. Tapi perlu kita catat bahwa Gay ini tidak selalu memperlihatkan penampilan yang condong kepada perempuan. Di kota-kota besar saat ini Gay itu muncul dalam wujud yang berbeda, mereka yang pada mulanya terlihat kemayu justru di kota besar sekarang ini mereka muncul dalm penampilan yang begitu atletis dan sixsfak. Kemarin saja kita baru digegerkan berita tentang pesta Gay di tempat kebugaran (fitnes), dalam penggerebakan itu tak satupun yang terlihat kemayu semuanya kekar dan gagah bagaikan lelaki normal lainnya. Kita juga jangan salah paham, tidak semua yang laki-laki yang terlihat kemayu itu adalah Gay. Saya pikir yang perlu kita jadikan indikator untuk memponis seseorang Lesbi atau tidak dan Gay atau tidak adalah prilaku sex menyimpang yang mereka lakukan.
Kebutuhan
Penolakan terhadap LGBT ini terkesan tidak komit dan tidak konsisten, keberadaan mereka saat ini di tengah-tengah masyarakat kita sudah menjadi mata rantai kebutuhan. Sebab di antara para LGBT ini sudah banyak yang menduduki sektor penting dalam kehidupan masyarakat. Saya tidak keberatan dengan hal itu, namun yang menjadi perhatian saya terfokus pada penyimpangan yang mereka lakukan. Ada beberapa pekerjaan yang mereka geluti yang kontak langsung dengan masyarakat dan mau tidak mau kita juga berterima kasih atas jasa mereka, mulai dari pekerjaan yang butuh keahlian bahkan pekerjaan yang butuh otot sekali pun mereka mau melakukannya, tanpa ada rasa grogi dan tidak malu, meskipun sering mendapat ejekan dari masyarakat. Walau begitu saya juga mengacungkan jempol kepada mereka atas semangat mereka dalam memerdekakan diri dari belenggu kemiskinan, itu sebabnya jarang kita temukan kaum LGBT ini yang menganggur dan biasanya selalu mampu setidaknya untuk membutuhi dirinya sendiri.
Adapun di antara pekerjaan yang sering mereka geluti, di antaranya, dari sektor seni: tata rias, saloon, dekorasi panggung, tarik suara, dan tata letak pelaminan, ada juga yang bergelut di sektor dagang, jual sayur, tukang angsur, sales dan penjaga konter, di antara mereka juga banyak yang bekerja di instansi pemerintah. kelihaian dan keuletan yang menjadikan komunitas ini terlibat dalam mata rantai kebutuhan masyarakat hingga mereka seakan mendapat tempat dan masyarakat cendrung melupakan bahaya dari komunitas ini.
Diperparah lagi dengan kebutuhan politik-dalam kaca mata politik-keberadaan mereka amat menggiurkan karena komunitas mereka–dalam terkaan saya-sudah mencapai ribuan tentu memberi pengaruh dalam menyumbangkan suara untuk mendukung salah satu kandidat yang berlaga di daerah mereka. Jika seandainya mereka mendapat penolakan, komunitas ini sudah punya jaringan setidaknya mendampingi dan mendamaikan mereka dengan pihak yang menolak, bahasa saat ini kita sebut dengan mediasi. Walau tidak demikian, setidaknya mereka sudah merasa dibutuhkan dan mendapat pengakuan meski itu terjadi hanya pada ketika dekat-dekat pesta demokrasi. Kebutuhan kita terhadap komunitas ini terutama kaum Gay tidak bisa terelakkan. Kita juga jangan menganggap bahwa eksistensi komunitas ini diakui.
Penolakan Norma Agama dan Budaya
Agama Islam sebagai sumber pijakan hidup sangat menentang penyimpangan yang dilakukan oleh kaum Lesbi dan Gay. Teks maupun konteks dalam nash agama tidak ada yang membenarkan sikap menyimpang yang mereka lakukan. Banyak dalil yang berbicara tentang itu, mulai dari ancaman sampai pada eksekusi hukum bagi kaum LGBT. Sejarah juga sudah mengabarkan dan memberi lonceng peringatan buat kita tentang kaum Luth yang dijungkir balikkan oleh Allah hingga terkubur di dasar bumi. Informasi dari sejarah ini amat penting buat kita sebagai bahan renungan agar tidak memberi ruang gerak bagi perkembangan kaum LGBT ini.
Perlu digaris bawahi bahwa penolakan agama kepada kaum Gay dan Lesbi sebenarnya bukan menolak oknumnya, namun menolak penyimpangannya. Islam melarang keras laki-laki yang berlagak perempuan begitu juga sebaliknya. Penolakan ini bukan hanya tertuju pada style dan gaya hidup, bahkan lebih dari itu, sampai merambah pada penyimpangan seks yang kaum Gay dan Lesbi lakukan. Agama Islam juga bukan hanya melarang kaum ini, lebih dalam lagi Islam juga menawarkan solusi dengan pendekatan yang humanistik. Mulai dari membatasi kedekatan dengan perempuan sampai pada memperbanyak puasa untuk menjaga diri dari perasaan dan sikap menyimpang itu. Masih banyak lagi metode dan teknis yang disodorkan Islam sebagai tindakan preventif dan pencegahan sejak dini yang tidak bisa dibicarakan dalam tulisan ini secara gamblang.
Bukan saja Agama Islam, adat dan budaya Mandailing juga secara inklusif menyuarakan penolakan terhadap kaum ini. Baju adat yang dibedakan antara laki-laki dan prempuan secara implisit memberi spektrum yang konkrit atas penolakan kaum ini. Pembedaan antara laki-laki juga begitu jelas dalam tugas ke-adatan dalam siriaon dan siluluton. Jika kaum ini hadir dalam dua sakramen ini saya tidak tau menempatkan kaum ini apakah dibarisan parina-inaon atau dibarisan paramaon.
Akhirnya, apapun alasannya LGBT itu haram dan bertolak belakang dengan norma agama dan adat budaya. Meskipun ada beberapa oknum menerima penyimpangan mereka, saya pikir ide pendukung LGBT ini sudah sesat dari alam pikiran. Walaupun begitu, agamawan dan seluruh masyarakat mau merangkul, mendidik dan membimbing mereka sejak dini. Pendidikan ini seharusnya dimulai dari keluarga, sebab lingkungan yang membentuk kebiasaan dari seorang anak berawal dan berangkat dari lingkungan keluarganya. ketidakpedulian keluarga terhadap anak akan tidak menutup kemungkinan memberikan ruang penyimpangan terhadap anak.
Admin : Dina Sukandar Hasibuan,A.Md