Program “SDM Unggul” menjadi prioritas utama Kabinet Indonesia Maju Periode 2019-2014. Sebagai konsekuensinya, seluruh lini pemerintahan khususnya kementerian-kementrian harus menyesuaikan kebijakannya dengan program tersebut sebagaiman dinyatakan dalam fst.unair.ac.id (09/08/2019). Dalam ranah implementatif, menurut Agus Oloen dalam kompasania.com ( 23/12/2019) setidaknya terdapat dua indikator utama yang menjadi tolok ukur untuk menilai apakah suatu negara memiliki “SDM Unggul” atau tidak? Indikator pertama adalah sumber daya manusia yang sehat dan yang kedua adalah sumber daya manusia yang berpendidikan.
Sumber daya manusia (SDM) sehat bila dikaitkan dengan tugas pemerintahan mengandung makna bahwa pemerintah harus mampu memberikan jaminan bahwa setiap warga negara mampu memperoleh akses kesehatan yang layak. Sementara itu, di Indonesia terdapat dua isu pokok mengenai kesehatan yakni permasalahan stunting dan jaminan kesehatan nasional. Permasalahan SDM sehat ini tidak akan dibahas panjang lebar dalam tulisan ini.
Selanjutnya, berkaitan dengan SDM Unggul dengan indikatornya adalah SDM yang berpendidikan menuntut adanya jaminan dari negara bahwa seluruh proses pendidikan mulai dari sistem pendidikan, proses pendidikan, dan luarannya mampu mencetak generasi yang unggul sesuai dengan perkembangan zamannya. Sebagai hasilnya, dikeluarkanlah program merdeka belajar yang terbagi menjadi 4 (empat) program, yaitu USBN dinganti dengan Asesmen, penghapusan UN dan diganti dengan sistem Asesmen Kompetensi Minimun dan Survei Karakter, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dipersingkat, sistem Zonasi PPDB yang dipersingkat (SIARAN PERS Nomor: 408/sipres/A5.3/XII/2019).
Kembali pada permasalahan SDM Unggul, unggul dalam hal ini juga berarti bahwa SDM Indonesia juga harus mampu menghadapi tantangan zaman. Berkaitan dengan zaman, sebagaimana di muat dalam kompasania.com (22/12/2019) dalam artikel berjudul “Merdeka Belajar dan Masa Depan Pendidikan Kita di Era Industri 4.0”, saat ini generasi kita sedang dihadapkan dengan Era Revolusi Industri 4.0 yang akhirnya berdampak pada tiga bidang sekaligus yakni digitalisasi sistem sosial, sistem politik dan ekonomi. Contoh yang dapat kita lihat sehari hari yaitu adanya ojek online, online shopping, dan diberlakukannya uang elektronik. Kemudian, bila dikaitkan dengan “SDM Unggul”, sudah mampukah SDM kita menghadapi hal ini?
Bila ditinjau dari segi tujuannya berdasarkan UU. No.20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai sebuah tujuan kemudian diperlukan metode, metode tersebut tidak lain adalah sistem pendidikan. Berkaitan dengan cara menempuh tujuan pendidikan, di Indonesia sejak masa kemerdekaan telah disuntikkan berbagai formula, mulai dari program wajib belajar, pemberian beasiswa kepada mayarakat tidak mampu, kurikulum 2013 dan yang terakhir adalah merdeka belajar. Kemudian muncul pertanyaan, apa out dari suntikan formula-formula tersebut di atas? Bagaimana dengan SDM Unggul? Relevankah program-program di atas untuk mencapai output Indonesia dengan SDM Unggul?
Mari kita cermati masing-masing isi dari kebijakan Merdeka Belajar di atas, kemana arahnya? Jika dicermati, kebijakan Merdeka Belajar ini setidaknya muncul dari dua jalur pertimbangan, yaitu, hasil evaluasi dari sistem pendidikan sebelumnya yang dianggap kurang relevan dan hasil adopsi atas sistem pendidikan yang telah dijalankan oleh negara-negara dengan sistem pendidikan yang dinilai terbaik oleh dunia. Kebijakan pertama yakni USBN diganti Asesmen dengan tujuan mengalihkan anggaran untuk pengembangan kapasitas guru dan sekolah, sehingga akan meningkatkan kualitas pembelajaran. Kedua penghapusan UN karena dinggap hanya mementingkan aspek penguasaan materi, adanya UN menjadikan pesertadidik hanya terfokus untuk belajar menyelesaikan trik menjawab soal, mereka belajar bukan untuk pengembangan diri, tetapi justru hanya untuk menjawab tes. Kondisi tersebutlah yang kemudian menjadi latarbelakang dirubahkan UN menjadi Asesmen Kompetensi Minimum yang terdiri atas penilian aspek literasi, numerasi dan penguatan pendidikan karakter. Adapun tujuannya adalah agar para guru meningkatkan mutu pembelajaran mereka. Namun, sebenarnya sistem asesmen tersebut mengacu pada praktik baik pada level internasional seperti PISA dan TIMSS.
Ketiga, penyederhanaan RPP yang dilatar belakangi oleh keluhan para guru atas beban administrasi atas diharuskannya menyusun RPP sedetail mungkin sehingga mereka tidak sempat untuk memperhatikan pembelajaran mereka sendiri. Oleh karena itu, penyederhanaan RPP akan memberikan kelonggaran bagi guru untuk mengevaluasi pembelajaran mereka sendiri. Keempat, sistem Zonasi yang lebih fleksibel, perlu diketahui bahwa tujuan sistem zonasi adalah guna pemerataan di sektor pendidikan, siswa yang lebih dekat daerahnya dianggap lebih layak mendapatkan pelayanan dibandingkan dengan siswa yang luar daerah. Sistem ini dulunya bersifat sangat ketat sehingga menuai banyak kritik, oleh karenanya dilonggarkan oleh pemerintahan setelahnya. Alasan-alasan tersebut di atas diungkapkan oleh Nadiem Makariem sendiri sebagaiama di muat dalam Alasan ini dikemukakan oleh Nadiem Makariem sendiri sebagaimana dimuat dalam edukasi.kompas.com pada 12 Desember 2019 lalu.
Melihat latar belakang dan tujuan dari 4 (empat) program tersebut di atas, belum nampak hal-hal yang secara eksplisit mengarah pada upaya pemerintah untuk mencetak generasi unggul yang mampu menghadapi perkembangan industri 4.0, hal ini nampaknya berbanding terbalik dengan apa yang sebelumnya diprediksi oleh para pakar bahwa penunjukkan Nadiem Makariem sebagai Menteri Pendidikan merupakan keputusan Presiden untuk menanggapi perkembangan revolusi industri 4.0 tersebut.
Dilihat dari aspek dampak, revolusi industri 4.0 sebenarnya memunculkan paradigma baru dalam dunia pendidikan yakni adanya artificial intelegence, cloud computing, big data yang bisa mengubah wajah pendidikan di Indonesia. Namun, kita khawatir yang terjadi justru sebaliknya, kekhawatiran ini akan menjadi nyata tatkala Menteri Pendidikan terlalu fokus pada aspek normatif sehingga melupakan aspek praktisnya.
Sampai disini nampak bahwa merdeka belajar yang dianggap sangat komprehensif ternyata masih menyisakan persamalahan. Salah satunya adalah bagaimana mencetak generasi unggul di era revolusi industri 4.0 ini. Lalu, bagaimana seharusnya arah kebijakan yang sesuai dengan program SDM Unggul?
Jika melihat profil dari Menteri Pendidikan kita, maka bila orang awam ditanya mereka pasti akan menjawab bahwa mereka harus membelikan laptop untuk anak-anaknya karena proses pembelajaran di sekolah akan menerapkan itu. Jadi sudah seyogianya apabila kemudian waktu itu para pakar memprediksi bahwa akan ada pembelajaran yang belum pernah kita rasakan sebelumnya yakni pembelajaran berbasis revolusi industri 4.0.
Waktu itu, sebagaimana disinyalir Liputan6.com (23/10/2019) beberapa pengamat memprediksi bahwa akan ada pembelajaran yang menggunakan teknologi artificial intelegence untuk membimbing siswa. Sistem pembelajaran online akan diterapkan di berbagai sekolah. Adanya big data akan memudahkan untuk proses standarisasi pembelajaran diantara sekolah-sekolah yang ada sehingga sistem zonasi yang menuai pro kontra akan bisa terselesaikan dengan pemanfaatan big data. Kedua teknologi tersebut juga bisa digunakan untuk melakukan mapping kompetensi, sehingga dunia industri tidak perlu repot-repot menyelenggarakan Job Fair. Di beberapa sekolah SMK akan dibuka jurusan digital, generasi milineal yang dianggap telah terampil dalam teknologi dan informasi akan dilatih berwirausaha digital sehingga akan muncul enterpreneurship muda dibidang digital seperti sosok Menteri Pendidikan.
Apa yang diprediksi oleh beberapa pakar tersebut sampai saat ini belum nampak ujung hidungnya, yang nampak masih kebijakan pengapusan UN yang menuai pro dan kontra di sana-sini. Sistem asesmen yang merujuk pada PISA yang dianggap sebagian pihak justru tidak sesuai dengan tujuan revolusi industri 4.0 sebagaimana dinyatakan oleh pengamat pendidikan Indra Charismiadji bahwa sistem tersebut pada dasarnya sama-sama bertujuan melakukan pemetaan layaknya UN, menurut beliau, apa yang dilakukan pemerintah tersebut bukanlah skema yang tepat dalam menilai kemampaun siswa apalagi jika dihadapkan dengan revolusi industri 4.0 ini, ia juga mengharapkan pemerintah jangan hanya sekedar mengganti nama, tapi juga mengeluarkan kebijakan yang mengena. Lalu bagaimana seharusnya arah kebijakan pendidikan kita?
Kebijakan merdeka belajar dinilai oleh beberapa pihak terlalu berfokus pada UU Sisdiknas dan justru tidak mengena kemasyarakat dan tidak sesuai dengan konteks perkembangan zaman saat ini, namun untuk mencapai SDM unggul nampaknya masih perlu dipertanyakan, apalagi jika dikaitkan dengan revolusi industri 4.0 saat ini. Keresahan akan SDM unggul yang siap dengan tantangan revolusi industri 4.0 justru dirasakan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, akhirnya muncul ide kreatif dari masyarakat non pemerintah seperti Ruangguru sebagai perusahaan teknologi yang berfokus pada bidang pendidikan. Saat ini Ruangguru telah menghubungkan 300.000 guru bersertifikasi dengan lebih dari 15 juta murid di seluruh Indonesia dengan kurikulum yang terstandarisasi.
Ruangguru juga memiliki platform skill academy yang berfokus pada pelatihan dan sertifikasi pada beberapa kategori skil yaitu aspek pengembangan diri, teknologi dan informasi, pemasaran, persiapan tes, bisnis dan keuangan. Skill tersebut nampaknya lebih mendekati pada tujuan pendidikan nasional kita serta sesuai dengan perkembangan industri 4.0, misalnya di skill academy juga terdapat program pengembangan diri melalui baca tulis al-qur’an yang sesuai dengan unsur pengembangan iman dan taqwa dalam pendidikan nasional kita.
Bagi mereka yang telah selesai menempuh jenjang pendidikan, perusahaan teknologi tersebut juga menyediakan platform Ruangkerja yang berisikan materi-materi pelatihan gratis seperti digital marketing, tes toefl dan lain sebagainya. Jadi perusahaan tersebut, secara komprehensif menyediakan fasilitas pendidikan dari mulai tingkat dasar hingga mengantarkannya ke dunia kerja, bahkan saat berkerja pun masih diberikan fasilitas pengembangan diri.
Melihat apa yang telah dilakukan perusahaan start up tersebut, pemerintah seharusnya malu. Sejak awal seharusnya pendekatan yang dilakukan dalam merumuskan program pendidikan kita lebih komprehensif, sehingga tidak terkesan kebijakan yang normatif semata, tetapi juga bersifat praktis. Kebijakan yang dikeluarkan seharusnya tidak hanya berfokus pada dunia sekolah saja. Sejak masa persiapan sekolah (PAUD/TK), proses di sekolah (SD/SMP/SMA/PT), hingga pasca sekolah harus secara komprehensif di analisis oleh pemerintah dan menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Seperti pesan yang disampaikan Ali bin abi thalib R.A. “didiklah anakmu sesuai dengan jamannya, karena mereka hidup bukan di jamanmu” (Elia Daryati dan Anna Farida (2014:01).
Konsep merdeka belajar ini sebenarnya ingin fokus pada peningkatan tiga indikator yaitu numerasi (penguasaan terhadap angka), literasi (kemampuan analisis teks/bacaan), dan pembinaan karakter melalui pembelajaran gotong royong ke-bhinnekaan dan sebagainnya, lihat www.unja.ac.id (02/21/2020). Kita berharap sekali kebijakan Merdeka Belajar ini tidak kehilangan fokus yang diharapkan dari pendidikan itu sendiri yakni mengantisipasi masalah-masalah sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan, salah satu masalah sosial di tengah masyarakat kita sendiri adalah minimnya SDM yang mampu memanfaatkan perkembangan revolusi industri 4.0.
Al-hasil kita khawatir kebijakan ini berakhir seperti kebijakan-kebijakan 5 (lima) tahunan lalu, hilang dan menguap. Kebijakan pendidikan kita jangan sampai lagi-lagi bersifat middle to top (hanya meninjau masalah tidak dari bawah baru sampai tengah sudah diambil kesimpulan). Kebijakan pendidikan kita harus benar-benar efektif , jangan sampai seperti kebijakan sebelumnya baru saja para guru mulai terbiasa dengan KTSP, sudah harus mengikuti berbagai pelatihan kurikulum 2013 sehingga tidak ada waktu untuk mengajar. Kemudian, baru saja selesai mengikuti pelatihan kurikulum 2013 kebijakan sudah berubah. Hal inilah yang sungguh sangat miris di dunia pendidikan kita, setiap ganti Menteri, ganti pula kebijakannya. Program lima tahunan sekolah yang dibuat dan menghabiskan banyak anggaran harus dirubah kembali disebabkan kebijakan.
Melihat kenyataan demikian, seolah-seolah dunia pendidikan kita justru menjadi ajang kompetesi di antara mantan menteri dan menteri yang baru. Seolah-olah adagium “kalau tidak mengeluarkan kebijakan baru, dianggap tidak bekerja” sudah melekat dalam kebijakan mereka. Masalahnya kemudian, dunia pendidikan kita menjadi ajang uji coba, peserta didik kita menjadi alat-alat eksperimen kebijakan. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia. Maka efeknya adalah sebagaimana dikatakan oleh Nasution bahwa apa yang dipelajari oleh pendidik hanyalah untuk kepentingan progam semata, kepentingan sekolah semata tidak untuk membekali mereka secara totalitas membantu anak didik agar hidup lebih baik, efektif dalam masyarakat (Nasution. 1999:148).
Kebijakan-kebijakan dunia pendidikan harus lebih aplikatif dan benar-benar bisa dirasakan otuputnya dalam kurun waktu tertentu. Jangan sampai kebijakan tersebut justru mengombang ambingkan para pelaku di dunia pendidikan. Biarkan mereka berkembang secara mandiri, fasilitasi mereka, berikan mereka suport yang tepat dan tidak perlu menjustifikasi. Kita masih punya harapan-harapan besar akan bangkitnya Generasi Digital yang mampu menjadi pionir Revolusi Industri 4.0, sebagaimana keinginan Menteri Pendidikan kita juga.
Penulis : Muttaqin Kholis Ali,S.Pd.
Guru Komputer SMA N 1 Tambangan.
Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Teknologi dan Kejuruan UNP
Admin : Siti putriani