KEBIJAKAN pemerintah Indonesia menempatkan daerah sebagai objek pembangunan dengan diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjadi landasan yuridis pengembangan otonomi daerah di Indonesia.
Setelah satu dekade, fakta di lapangan menunjukkan bahwa otonomi daerah belum optimal. Dalam otonomi daerah, rendahnya kemampuan mengelola keuangan dan aset menjadi pekerjaan rumah sejumlah pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Lemahnya perencanaan, pemprograman, penganggaran, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan pertanggungjawaban mengakibatkan munculnya indikasi korupsi, pemborosan, salah alokasi serta banyaknya berbagai macam pungutan yang justru mereduksi upaya pertumbuhan perekonomian daerah.
Kondisi itulah, masyarakat Desa Sipaga-paga dan Desa Aek Banir Kecamatan Panyabungan yang jaraknya hanya sekitar beberapa Kilometer dari Kompelek Kantor Bupati Madina,yang ditinjau dan di Investigasi beberapa lembaga kemasyarakatan baik itu LSM,Ormas dan Mahasiswa,sedikit ragu dengan pelaksanaan Anggaran Dana Desa khususnya Tahun 2016 dan 2017 yang dinilai masyarakat anggarannya diduga Mark Up dari kebutuhan yang sebenarnya khususnya untuk pembangunan Jalan Rabat Beton.
Bagaimana caranya ? Korupsi bukan saja terjadi pada saat pelaksanaan, namun juga dalam proses perencanaan, bahkan pada tahap ini bisa dibilang lebih kental. Dalam proses perencanaan anggaran terdapat 5 aspek yang mewarnai, yaitu top down, bottom up, partisipasi, teknokrasi, dan politik.
Proses top down, anggaran yang digelontorkan dari pusat ke daerah sudah diatur (given), sedangkan bottom up, sejauh ini hanya formalitas, karena proses partisipasi dalam perencanaan yang dilakukan bukanlah proses negosiasi, namun hanya sosialisasi dan penyampaian informasi publik.
Beberapa warga Desa Aek Banir dan Desa Sipaga-paga kepada Malintangpos Online, Selasa(05-12) mengutarakan bahwa proses perencanaan dan musyawarah dalam menentukan program Dana Desa(DD) Tahun 2017 hanya disepakati oleh beberapa orang dan semua urusan perencanaan dan pengajuan RAPBDes nya juga dilakoni oleh pihak kecamatan dengan sistim upah, karena mayoritas desa yang mengerjakan adalah pihak Kecamatan.
Bukankah sudam Bimtek..? ia ampun Bimtek Kades itu jalan-jalan, nggak ada sama sekali ilmu yang mereka dapatkan, paling juga jalan-jalan, coba kita tes satu persatu Kades maupun aparat desa apakah mampu membuat RABDes, saya pikir ngga ada yang bisa, semua kegiatan mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan dimotori oleh pihak kecamatan, makanya banyak anggaran DD di Kecamatan Panyabungan yang diduga “Mark Up “ (Bersambung Terus)
Admin : Dina Sukandar Hasibuan,A,Md