Oleh: Suheri Sahputra Rangkuti, M.Pd
Manusia sebagai zon politicon (makhluk berpolitik) mengidap sebuah insting untuk memperjuangkan kandidat yang sesuai dengan espektasinya. Hal ini saya pikir sesuatu yang sangat normal dan merupakan bagian dari naluri dasariah manusia. Politik bukanlah sesuatu yang hina dan kotor, di dalam batang tubuh politik itu sendiri, terdapat kesucian untuk membela hak-hak kaum tertindas, begitulah awalnya politik itu terjadi. Namun, bila dipotret lewat lanscap ke-Indonesia-an saat ini, politik seakan berubah menjadi sesuatu yang menjijikkan. Bisa di cek pertengkaran-pertengkaran yang terjadi, baik di Medsos maupun di media massa, hanya sentilan-sentilan yang membangkitkan emosi, menyerang kubu lawan secara membabi-buta, tak pandang buluh, apapun dibuat jadi peluru dengan harapan untuk membangkitkan emosional masyarakat.
Bahkan agama bagi sebagian politisi juga dijadikan umpan untuk mendongkrak elektabilitas di saat peluru lain tidak bisa menembus jantung sasaran. Agama yang semestinya netral dan berbicara melalui dirinya, kini ditafsirkan dan diwujudkan dengan bentuk yang disesuaikan dengan keinginannya, lebih parahnya, ia merasa sebagai juru bicara Tuhan yang selalu benar dalam menafsirkan teks suci yang dipesan oleh hawa nafsunya. Tak tanggung-tanggung, Indonesia sebagai negara demokrasi yang beraroma religus ini pun termakan oleh serangan yang mematikan itu. Akibatnya, nalarpun digantung hidup-hidup tanpa mempergunakannya.
Di lain hal, fanatisme berlebihan ikut mendonasi suburnya pembodohan yang dilakukan oleh syahwat kekuasaan. Tanpa cek and ricek, informasi asal kunyah dan dimuntahkan keseluruh penjuru merupakan tindakan membunuh nalar. Fanatisme yang tertanam kuat seperti ini akan membangun kebenaran lewat subjektifitas, menegasikan aspek rasional dan vrefikasi fakta empiris. Tentu dengan hilangnya sikap jelimet dan telaten dalam mengkonsumsi informasi, mengaburkan pandangan-pandangan kebenaran dalam diri, laksana pepatah tua mengatakan “Pas songon bubusan sagalo namayup ipartolonan”
Tradisi intlektual kritis masyarakat bahkan politisi di tahun politik ini terasa lumpuh. Perbincangan yang semestinya dilakukan oleh kaum politisi adalah duel gagasan kini berubah tema menjadi dangelan seperti drama komedi dan drama korea yang tidak begitu menguntungkan masyarakat, kecuali hanya menyisakan kekesalan dan amarah yang setiap waktu terpicu dan menjadi topik hangat di group WA maupun FB. Akibatnya di level akar rumpun terjadi benturan-benturan, baik kecil maupun besar (non fisik) yang selalu berakhir dengan ketegangan.
Merawat Nalar
Realitas di atas, menghimbau kita untuk senantiasa tidak membeo dan jangan selalu mengikuti logika kerumunan. Nalar adalah anugerah Tuhan kepada manusia sebagai pembeda dengan makhluk lainnya memiliki peran sentral untuk memperbaiki kualitas hidup manusia. Idealnya, fungsi terbesar nalar adalah mampu membedakan mana yang baik mana yang buruk, mana yang benar mana salah. Bila ditarik dalam tradisi Islam, para kesarjanaan Islam mengakui setiap informasi mengandung benar dan salah kecuali wahyu. Karena informasi manusia ketika lepas dari mulut pertama menjadi konsumsi pendengarnya, seterusya direspon sesuai ukuran pengetahuan dan imajinasi si pendengar. Oleh karenanya, sikap kritis dan kehati-hatian sangat diperlukan dalam konsumsi berita.
Jurgen Habermas seorang sosiolog mengemukakan, opini publik harus dibangun atas dua tungku, yaitu, komunikatif rasional dan tindakan rasional. Komunikatif rasional adalah upaya membangun jalur rasional dalam perbincangan. Artinya, ketika bicara politik kita bicara argumen politik bukan dogma. Begitu juga tindakan rasional, yaitu upaya untuk menciptakan tindakan terukur, kemana dan apa yang semestinya yang harus diperjuangakan lewat sistem. Dengan begitu, nalar akan pulih dan mampu melacak kebenarannya. Sebagai inti dari Habermas, isilah otak dengan bacaan dan teori yang kuat dalam membedah sesuatu. Artinya, jangan bicara politik tanpa memahaminya lebih awal agar tidak menciptakan informasi dan kebohongan bagi orang lain.
Agaknya tidak begitu jauh berbeda bahkan terkesan dengan nada yang sama, bila dilihat tradisi Islam masa lalu dalam melacak sebuah kebenaran. Sebut saja misalnya dalam studi hadis, untuk melacak kebenarannya bisa dilihat dari jalur periwayatnya, apakah ia terindikasi cacat moral atau cacat logika. Kedua unsur utama ini dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan sebuah hadis diakui atau tidak. Dari sini, tidak berlebihan bila saya katakan bahwa orang saat ini tidak sepeka orang di masa lalu yang begitu gencar dan kritis dalam merespon berita. Dalam alam pikiran Yunani pun demikian, di masa Plato, Socrates dll, begitu serius mempertanyakan kebenaran. Lantas kenapa kita saat ini mundur dan terlalu longgar mengkonsumsi informasi?
Akhirya, saya ingin tutup tulisan ini dengan syair Khalil Gibran, Engkau dibisik bahwa hidup adalah kegelapan, dan dengan penuh ketakutan Engkau sebarkan yang telah dibisikkan dengan penuh kebimbangan.
Admin : Siti Putriani Lubis