SIBAROAR itu legenda, karena ia nenek moyang marga Nasution. Karena itu hari ini, Ikanas Jakarta dan Naposo Nauli Bulung Ikanas Cabang Medan berkunjung ke makam yang terletak di Panyabungan Tonga-Tonga ini. Dan Sibaroar, karena legenda kesaktiannya, ditambahkanlah nama “Nasaktion” di belakang namanya. Sebutan itu yang bertransformasi menjadi “Nasution”.
Banyak cerita tentang riwayat Sibaroar. Yang paling populer adalah versi yang ditulis oleh pujangga Willem Iskander dalam buku “Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk”. Buku lainnya adalah “SI BAROAR – ASAL MULA MARGA NASUTION”, yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, tahun 1976. Penulisnya Mohd. Saleh Nasution.
Saya tak berpretensi untuk menyebut berbagai versi itu. Biarlah hal itu tetap menjadi milik sejarah. Karena saya generasi ke 15 dari Sibaroar, saya perkirakan beliau hidup kira-kira tahun 1600 atau 1500, dan itu amat diskursus tarikhnya, bisa menjadi perdebatan yang panjang. Tapi sebuah buku berjudul “Sumatera Utara Tempo Doeloe” yang ditulis Anthony Reid, menyebut bahwa pada tahun itu, orang di kawasan ini kalau makan masih di sebidang daun pisang, makan beramai-ramai dalam daun yang sama, dan kalau ada sisanya, dilanjutkan lagi pada siang atau sorenya. Mereka gemar makan ikan dan burung, dan seterusnya.
Masa itu berjarak 700 tahun dengan masa zaman keemasan Kerajaan Hindu-Budha Klasik yang dibuktikan dengan keberadaan Candi Simangambat. Pada zaman keemasan itu, sudah ditemukan jejak perdagangan keramik di kawasan ini yang melibatkan saudagar-saudagar dari Cina dan Arab. (Itu dibuktikan dengan pecahan keramik di kawasan Candi Aek Milas Siabu, dan lain-lain).
Sibaroar menjadi besar karena luas kerajaan bawahannya, dan generasi itu hidup sampai sekarang, tidak punah sebagaimana diyakini punahnya kerajaan yang membawahi daerah-daerah kerajaan periode Hindu Budha Klasik di Mandailing.
Sibaroar sendiri penuh misteri dan sinkretisme. Misalnya, menyangkut orang bunian yang diklaim sebagai ibunya, dan saya, karena lekatan berpikir ilmiah, itu hal yang bagi saya amat labirin sifatnya, sangat tidak ilmiah. Dan kita lebih sering percaya hal-hal yang muskil karena legenda yang melekat pada satu tokoh atau peristiwa daripada membuka kajian-kajian yang lebih terukur secara ilmiah (baik menyangkut pengumpulan data, analisa, dan pengambilan kesimpulan). Makanya, ketika saya mementaskan drama “Sibaroar Raja Nansakti” di PRSU bulan Maret lalu, saya merasa amat tidak nyaman karena tidak dibiarkan mengembangkan sudut pandang sendiri. Bagi saya, itu kematian seniman.
Tapi sudahlah. Ikanas ada di sini, mereka menjalani Napak Tilas Jejak Sibaroar, menziarahi makamnya, menerima semuanya sebagai suatu keniscayaan, dan selesai. Sedang saya, berpikir setelah melihat dokumentasi tahun 1939 ini, dengan pohon beringin di atas makamnya, dan pohon itu sekarang hilang, rasanya ada sesuatu yang hilang juga dari “kebesaran” Ompu Sibaroar. Tapi siapa peduli itu kalau sebuah makam saja sudah cukup buat kita ziarahi bersama. Semakin modern sebuah makam, semakin nyaman kita di sisinya, meskipun itu membuat kesakralannya tergradasi( Redaksi).
Admin : Dina Sukandar Hasibuan,A.Md