Namaku Giyem, janda berusia lima puluh tahun. Setelah suamiku meninggal, banyak yang mengira aku gila.
Bodoh!
Mereka tidak tahu, kalau aku hanya sedang berpura-pura gila. Dengan berpura-pura gila, aku bisa mencari uang dengan mudah.
Ya, setiap pagi buta, aku berangkat ke pasar. Di sana aku meminta uang kepada siapapun yang aku temui. Entah itu pedagang atau pembeli, semua tak lepas dari incaranku.
Dengan cara begini, aku bisa mengumpulkan uang 200-300 ribu per hari. Jelas, bagiku itu bukanlah uang yang sedikit.
Bahkan dengan berpura-pura gila, aku bisa menyekolahkan anak perempuanku. Serta punya tabungan lumayan banyak. Semua ini hanya untuk malaikat kecilku.
Malaikat kecilku bernama Galuh. Selain pintar, ia juga cantik dan penurut. Hanya saja, Galuh tak tahu apa pekerjaan ibunya. Yang ia tahu, aku bekerja di pasar, itu saja.
“Hei, Giyem! Itu baju daganganku jangan dibawa!” seru seorang penjual baju padaku.
Mendengar teriakan pedagang baju itu, aku terdiam sejenak.
“Giyem!” bentaknya lagi, kali ini suaranya lebih melengking.
Bukannya takut, aku malah menari-nari kegirangan. Sambil sesekali baju dagangannya itu, aku lempar ke udara. Lalu, kutangkap kembali, seperti seorang penjaga gawang yang sedang menangkap bola. Kulakukan itu secara berulang-ulang.
Jelas, atraksiku ini membuat orang-orang tertawa. Bukannya malu, aku malah semakin menjadi-jadi.
“Giyem, jangan dilempar-lempar begitu. Nanti rusak!” teriak pemilik baju ini, panik.
Aku berhenti sejenak, lalu menolehnya. Tanpa bicara, kusodorkan baju itu padanya.
Sigap, ia coba meraih baju itu dari tanganku. Tapi, sebelum ia berhasil menyentuhnya, aku mundur selangkah.
“Cuiih, dasar orang gila! Cepat kembalikan baju itu!”
“Uang. Mana uang,” ucapku, seraya menjulurkan lidah.
“Ini! Dasar gila!” bentaknya, seraya menyerahkan selembar uang puluhan ribu.
Seperti permintaanku tadi, sepuluh ribu.
Ya, biasanya memang begitu, untuk pedagang-pedagang besar harus memberi uang sepuluh ribu, setiap hari. Sementara untuk pedagang kecil, kadang seribu atau dua-ribu. Jika mereka tidak memberiku uang, maka mereka harus siap jika dagangan mereka aku acak-acak.
Orang gila itu bebas!
Ikhlaskah mereka? Entah, aku tidak peduli akan hal itu. Yang pasti, aku juga butuh hidup. Dan, inilah cara terbaik untuk tetap bertahan hidup.
Setelah uang aku terima, kasar kulempar baju itu tepat mengenai wajahnya. Serta-merta ia menangkapnya, agar tak terjatuh ke tanah.
Perempuan itu kembali mengumpat, “Dasar wanita gila! Pergi sana!”
Umpatan, makian, segala sumpah serapah sudah tak asing lagi di telingaku. Setiap hari kunikmati, semua itu tak membuat tumbang.
Karena dengan cara seperti itulah aku mencari uang. Dengan cara seperti itulah aku bisa bertahan dari kerasnya kehidupan.
“Pergi! Jangan mendekat!” Kini seorang perempuan pemilik warung nasi berteriak mengusirku.
Bukanya pergi, aku malah masuk ke dalam warungnya. “Makan. Aku mau makan,” ucapku memelas.
“Kau mau makan apa?” tanya seorang lelaki muda. Aku meliriknya sebentar.
Aku yakin pemuda ini tak pernah ke pasar. Pantas, ia ramah padaku.
“Ini …. “Aku terdiam sejenak, memilih-milih lauk yang tertata rapi di lemari kaca. “Dan …
ini,” seruku, seraya menunjuk daging ayam dan semur jengkol kesukaanku.
“Buk, bungkus buat dia. Biar aku yang bayar!” perintah pemuda itu pada pemilik warung.
Aku tersenyum.
“Baiklah, Mas,” ucap pemilik warung. “Giyem kau tunggu di luar!” lanjut wanita itu(Bersambung)
Admin : dina soekandar