Sejak trending tagar “Layangan Putus”, perdebatan perlunya izin atau tidak dari sang istri pertama sebelum menjalankan poligami kembali mencuat.
Berbagai pendapat muncul di tengah public sebagai pergolakan batin antara pro dan kontra.
Ada yang mengecam dan ada yang mengamini segala tindakan yang terkait dengan praktik poligami.
Kata poligami sendiri sering dikaitkan dengan nikah siri (nikah secara diam-diam dan sah menurut agama).
Dengan kata lain, dalam syariat agama berpoligami tidaklah memerlukan izin dari pihak istri pertama, karena tidak termasuk dalam syarat sahnya suatu ikatan pernikahan
Namun, dalam praktiknya di lapangan, poligami seringkali menimbulkan polemik berkepanjangan, baik antara kedua istri, antar keluarga, dan yang paling ironi yaitu beban mental bagi anak-anak.
Banyak yang salah memaknai poligami, dimana poligami seharusnya dilakukan sebagai solusi terhadap kondisi tertentu yang mengharuskan seseorang berbuat demikian.
Namun sebaliknya banyak orang beranggapan bahwa poligami merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW. Padahal Nabi sendiri melakukan poligami bukan atas dasar biologis.
Indonesia merupakan salah satu Negara yang menjunjung tinggi hak martabat seorang wanita, sebagaimana dalam pasal 3 dan 5 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan.
Untuk menjamin hak seorang wanita, Negara Indonesia menjadikan salah satu syarat berpoligami dengan izin seorang istri dan adanya jaminan bahwa suami dapat berlaku adil.
Barometer adil dalam berpoligami menjadi salah satu hal yang abu-abu, meskipun di luar sana terdapat beberapa keluarga yang dapat menjalankan kehidupan berumah tangga dengan berpoligami.
Namun tidak sedikit juga praktek poligami merupakan buntut daripada budaya patriarki yang ada di Negara Indonesia khususnya, yang secara histori poligami pernah dilakukan di kalangan orang arab pra islam, sehingga patriarki menjadikan laki-laki berhak mendominasi wanita dalam segala hal terutama dalam memimpin keluarga, yang menjadikan seorang istri tak dapat menentukan kehidupannya.
Islam sangat menjunjung tinggi martabat wanita, akan tetapi esensi islam dalam menghargai wanita acapkali tereduksi dengan konsep poligami.
Terlebih berbagai pendapat sering dialamatkan pada ayat Al Quran yang memperbolehkan praktik poligami, padahal pada ayat lain dijelaskan bahwa keadilan menjadi ide pokok dalam menjalankan perkawinan lebih dari satu dan bukan semata-mata karena dasar biologis.
Keadilan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah tidak memihak dan berat sebelah. Secara gamblang ayat tersebut menjelaskan tidak akan mungkin seseorang dapat berlaku adil, meskipun ia menghendakinya.
Kenyataanya saat ini, pelaku poligami meninggalkan konsep keadilan yang dimaksud ayat tersebut guna melancarkan praktik poligami yang diklaimnya dapat dijalankan secara adil. Dimana secara prinsip keadilan, praktik poligami tidak dapat dilakukan.
Tak jarang kita temukan di tengah kehidupan masyarakat, praktik poligami memunculkan masalah baru yang berujung pada perceraian. Perceraian dilatarbelakangi dengan kesenjangan ekonomi dan kasih sayang, belum lagi pandangan sosial dapat mengganggu psikologi anak.
Kesenjangan ekonomi terjadi lantaran suami harus menafkahi dua keluarga sekaligus, belum lagi kasih sayang seorang suami harus terbagi-bagi lantaran tak dapat berada seutuhnya di tengah-tengah keluarga.
Keharmonisan dalam keluarga lama kelamaan akan terkikis, belum lagi diperparah dengan pandangan social baik dari kalangan keluarga besar sampai pada picingan mata masyarakat yang notabene tidak memahami konsep poligami.
Pada akhirnya anak-anak yang tak siap menerima kehadiran keluarga baru menjadi korban psikologis yang mengembangkan perasaan kurang disayang dan tidak dicintai, sehingga berimbas pada rasa kurang percaya diri, merasa kekurangan, dan tidak mempercayai orang lain.
Sulit rasanya menjalankan poligami tanpa kesiapan dari diri sendiri dan berbagai belah pihak, terutama anak-anak yang belum bisa memahami masalah kompleks seperti poligami.
Hukum Islam sebagai pedoman hidup yang mengehendaki rahmatan lil ‘alamin, tidak secara mutlak melarang maupun mewajibkan poligami, akan tetapi ditujukan bagi orang yang memenuhi persyaratan untuk berpoligami, baik dari segi finansial, mental, waktu dan adanya kondisi darurat yang mengharuskan berpoligami.
Menimbang dampak poligami yang dilakukan tanpa pemikiran matang, kesiapan mental, dan pengetahuan yang memumpuni, membuat banyak hati terluka bahkan sampai pada perlakuan dzolim (tidak memperlakukan sebagaimana mestinya) terhadap istri dan anak hasil pernikahan pertama.
Terlebih praktik poligami hanya semata-mata dijadikan juru selamat untuk kenikmatan sesaat, tentu hal tersebut jauh daripada esensi poligami dalam islam yang sangat memanusiakan manusia (wanita).
Maka dari itu, sebagai manusia berhati lembut bernama wanita, semestinya harus mampu memberdayakan diri baik dari segi kemandirian, keterampilan, intelektual, dan spiritual, agar tak mudah terjerat oleh iming-iming poligami tanpa ketentuan yang jelas.
Alih-alih poligami sebagai ibadah demi mendapatkan pahala, nyatanya malah praktik patriarki dalam bingkai poligami.(Bintang)
Penulis : Bintang Dosen STAIN Madina
Admin : Dita Risky Saputri,SKM.