Sepekan yang lalu aku sempat berbicara dengan lelaki itu di serambi rumahnya. Lelaki tua yang aneh menurutku. Bisa jadi ia begitu karena terlalu lama bercinta dengan segala kesepian.
Tak ada yang istimewa dari dirinya. Entahlah, tapi menurutku memang begitu. Lelaki tua yang malang yang selalu menganggap dirinya bisa menjadi apa saja.
Namanya Burhan, aku tak tahu pasti berapa umurnya. Setelah ia ditinggal Romlah istrinya, ia memilih menikah lagi dengan kesepian. Dari hasil pernikahan yang aneh itu, ia banyak melahirkan kata-kata. Bukan hanya ratusan, bahkan ribuan. Hanya saja, tak ada yang tahu perihal itu.
“Kang, kadang aku tak mengerti denganmu? Apa kau tak merasakan kesepian hidup sendiri begini?” tanyaku sepekan yang lalu.
Lelaki tua itu menatapku lalu tersenyum. “Aah, kau tahu apa tentang hidupku,” jawabnya.
Cukup lama ia terdiam. Pandangnya kini beralih pada awan hitam yang berarak di atas sana. Aku memilih diam, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.
“Kau tahu, Gus! Dengan begini aku punya banyak teman!”
“Maksudmu, Kang?”
“Aku bisa menciptakan sosok apa pun yang aku mau, Gus. Kadang wanita cantik jelita, seperti almarhumah istriku, seperti bidadari, bahkan seperti siapa pun yang ada dalam imajinasiku.”
Mendengar kata-kata Burhan aku tersenyum, senyum itu bisa diartikan mengejek. Ya, aku mengejeknya. Menertawakan kebodohan lelaki tua ini. Mana mungkin ia bisa menciptakan sosok-sosok yang lahir dari imajinasi hingga menjadi nyata. Bodoh!
“Kau pasti menertawakanku!” sangkanya.
Senyumku seketika sirna berganti dengan kegugupan. Aku menatap matanya lekat. Tak aku temui sedikitpun kebohongan yang bisa aku tangkap dari sorot matanya.
“T-idak, aku tak menertawakanmu, Kang,” ucapku tergagap.
“Kau tak tahu, Gus. Dengan begini aku bisa menjadi siapa saja. Aku bisa menjadi orang miskin, bisa juga menjadi saudagar kaya raya, bahkan aku bisa menjadi raja dalam sekejap mata.”
Aku terbahak-bahak mendengar lelucon itu. Sepertinya Burhan memang sudah tidak waras lagi. Jangan-jangan kesepian telah membuatnya menjadi begini.
“Kau lucu, Kang!” kataku setengah menyentak.
“Terserah kalau kau tak percaya itu!” tukasnya seraya berlalu. Ia membanting pintu dengan kasar, meninggalkan aku yang masih tertawa hingar di serambi rumahnya.(Bersambung )
Penulis :
Muttaqin Kholis Ali,S.Pd.