JAKARTA (Malintangpos Online): Sebagai ‘abdi negara dan ‘abdi masyarakat, birokrasi dituntut untuk tidak hanya memperhatikan tugasnya sebagai pelaksana pembangunan, tapi lebih dari itu juga melayani masyarakat. Dalam kedudukannya yang kedua itu birokrasi perlu menunjukkan profesionalisme dan netralitasnya.
Tetapi, hal ini tampaknya masih berupa sebuah ‘harapan. Sebab, sulit dipungkiri sampai sejauh ini birokrasi kita lebih mencerminkan sebagai abdi pemerintah. Jargon-jargon birokrasi sebagai ‘abdi masyarakat hanya bersifat retoris. Sejatinya birokrasi lebih mengabdi pada sang penguasa.
Kuatnya tuntutan untuk mereformasi birokrasi belakangan ini sangatlah logis. Sistem birokrasi yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan membuat institusi ini tidak responsif terhadap kepentingan rakyat dan mengabaikan pelayanan publik. Rendahnya political will, political commitment dan law enforcement pemerintah dalam bidang ini telah membuat kita tertinggal di belakang Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Secara umum, birokrasi Indonesia masih menunjukkan karakteristik birokrasi yang tradisional atau patrimonial yang sarat dengan hubungan patron-klien, tidak transparan, tidak akuntabel dan cenderung mengabaikan merit system. Di era disrupsi sekarang ini, misalnya, isu korupsi bukannya menghilang, sebaliknya malah semakin meningkat. Ibarat kanker stadium empat, korupsi telah menggerogoti semua cabang kekuasaan, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif tingkat pusat dan daerah. Ironinya, semakin banyaknya lembaga pemberantasan korupsi, jumlah koruptor juga semakin bertebaran di berbagai cabang kekuasaan tersebut. Keadaan ini menunjukkan adanya pelecehan secara terang-terangan terhadap lembaga tersebut dan perlawanan terhadap ketetapan hukum.
Dalam bidang pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan dan perijinan/usaha, birokrasi belum mampu berperan secara maksimal. Birokrasi, bahkan, terbukti tidak mampu mengendalikan pembangunan ekonomi dan perubahan sosial. Meski agak terlambat, Indonesia harus berusaha keras menata kembali birokrasinya dan membebaskan dirinya dari ciri patrimonialismenya. Dengan birokrasi yang lebih legal rasional, ia diharapkan dapat menjadi lebih bersifat professional dalam melayani rakyat dan netral secara politik (dalam pemilu/pilkada).
Birokrasi di era disrupsi perlu memiliki ciri-ciri: pertama, birokrasi yang mendukung secara luas partisipasi publik, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan kreativitas. Kedua, birokrasi yang antarbagiannya mampu berkompetisi satu sama lain dalam rangka meningkatkan kualitas dan jumlah pelayanan publik. Ketiga, birokrasi yang profesional dan netral yang mampu mendukung implementasi desentralisasi dan otonomi daerah bagi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dengan birokrasi yang akuntabel, transparan, dan partisipatif, tugas administrasi pusat dan daerah diharapkan dapat lebih dipertanggungjawabkan kepada publik. Tetapi, untuk itu semua, pemerintah perlu dilengkapi dengan (undang-undang etika pemerintahan (bill of government ethics) sebagai penunjang tata kelola pemerintahan yang baik.
Ciri-ciri birokrasi tersebut di atas diperlukan Indonesia, khususnya untuk menarik investasi dan menciptakan daya saing. Sampai saat ini hambatan yang dirasakan para investor tidak hanya masalah sosial politik dan keamanan saja, tetapi juga efisiensi pemerintahan, termasuk di daerah, dalam mendukung dunia usaha. Sejauhmana kemampuan mereka dalam membuat peraturan yang pro-bisnis? Seberapa besar konsistensi kebijakan mereka dalam meningkatkan daya saing melalui investasi? Apakah masih terdapat sejumlah peraturan pemerintah pusat dan daerah yang tumpang tindih sebagaimana tampak selama ini?
Faktor-faktor tersebut merupakan permasalahan dan warisan lama yang menjadi kendala kita selama ini. Oleh karena itu, diperlukan implementasi inovasi kelembagaan/organisasi dalam praktik penyelenggaraan pemerintah pusat dan daerah. Inovasi struktur organisasi dan pembuatan keputusan menjadi suatu kebutuhan mendesak bagi perbaikan birokrasi. Dalam konteks ini diperlukan adanya out put pemerintah bagi percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat serta peningkatan daya saing daerah. Untuk ini semua dibutuhkan adanya leadership kepala negara/kepala daerah dalam membuat terobosan signifikan untuk menunjang pembangunan nasional/daerah dan daya saing.otonominews
*) Peneliti senior Pusat Penelitian PolitikLIPi