SEKITAR Kurang lebih 7 tahun yang silam, Mandailing Natal yang hanya dikenal dengan hasil pertaniannya, sontak digegerkan dengan berita, bahwa bumi gordang sambilan memiliki endapan lapisan emas.
Informasi ini menjadi tranding topic di berbagai corong berita di masyarakat, mulai dari lopo-lopo hingga menjadi bahan obrolan di tapian paridian sambil menunggu hilangnya kepulan asap dari isapan rokok setelah di buang.
Lahirnya tambang ini menjadi angin segar di masyarakat di saat perekonomian sedang murung dan lesu. Satu persatu masyarakat mulai melibatkan diri untuk mencoba peruntungan, merubah garis nasib, setidaknya bisa membutuhi kehidupan keluarganya.
Sebab, hasil karet yang sudah terjerambab jauh di level harga terendah tidak lagi mampu menampung kebutuhan hidup yang kian hari makin melambung.
Hadirnya tambang di Kabupaten Madailing Natal yang juga disebut sebagai Kota Santri ini menyedot perhatian para ahli tambang traditional yang datang dari tanah jawa.
Kedatangan mereka untuk melaga nasib di lahan tambang ini, turut serta memberi pencerahan kepada pekerja tambang lokal yang memang baru bersentuhan dengan dunia tambang.
Seluk beluk jalur emas dan cara mengeluarkan emas dari perut bumi dipelajari dari penambang pendatang, selebihnya, dipelajari secara otodidak. Seiring berkembangnya waktu, penambang lokal makin ahli dan mulai membuka tambang secara kelompok, mulai dari kelompok sahuta, sabanjar, bahkan ada yang sekeluarga.
Hiruk pikuk tambang yang kian menggeliat dan galundung yang kian bergejolak, yang sudah berjalan sekian lama, mau tidak mau, pasti bersentuhan dengan masalah.
Mulai dari masalah lingkungan, keselamatan pekerja lokal, sampai pada persoalan parbagain kepada oknum yang menjadi tameng bagi penambang bila suatu saat terjadi gesekan hukum.
kita memang mengakui bahwa ini adalah masalah, namun, kita kurang sepakat dengan pemerintah bila tambang masyarakat lokal harus di tutup saat ini.
Banyak alasan yang bisa kita jadikan dalam bentuk retorika dan dialektika untuk mengantisipasi permasalahan ini. sekalai lagi, tambang yang sudah menjadi sandaran ekonomi masyarakat semestinya kurang tepat untuk di tutup saat ini. Meskipun di tutup setidaknya pemerintah bisa membuka opsi lain kepada penambang untuk memberi ruang kerja baru.
Rasanya tidak sopan bila saya mengatakan tambang masyarakat sebagai tambang ilegal. Sebab, konon kabarnya, masyarakat juga membagi hasil jerih payahnya walau bertarung dengan nyawa kepada oknum-oknum yang menjadikan seragam sebagai power untuk ikut menikmati asinnya keringat para penambang.
Tulisan ini tidak untuk mengantar kita nimbrung menelanjangi permasalahan hukum soal tambang, sebagaimana yang sedang mendidih saat ini.(Bersambung /Suheri Sahputra Rangkuti, M.Pd.)
Admin : Dina Sukandar Hasibuan,A.Md