Namun, tulisan ini ingin membuka hati dan intusi setiap pembaca, agar melihat permasalah ini bukan hanya sekedar masalah hukum, namun harus dipertimbangkan juga rasa dan harapan yang dimiliki oleh para penambang lokal.
Jalur alternatif dari membisunya gerak ekonomi, menjadikan tambang sebagai pillihan oleh sebagian masyarakat. Penambang sebenarnya bukanlah keinginan dari masyarakat, yang sudah ikut berjibaku dan terlibat dalam tambang ini, betapa tidak, coba kita bayangkan! berhadapan dengan medan yang berat, licin dan menanjak sebagai garis perjuangan yang mesti dilangkahi untuk menafkahi keluarganya.
Seandainya harga karet kembali pada kitaran yang menggiurkan, saya yakin para penambang akan kembali ke kebun dan lahannya masing-masing. Sulitnya mengais sesuap nasi saat ini menjadi alasan yang mendasar kenapa masyarakat rela naik dan turun gunung meski hanya menggunakan pengaman seadanya.
Logikanya, masyarakat menolak tambang di tutup bukanlah dikarenakan tambang sebagai mesin pencetak ribuan dollar, akan tetapi, para penambang hanya memahat sekeping rupiah untuk bisa melanjutkan pendidikan anak-anaknya.
Tambang masyarakat ini adalah mata rantia kehidupan, kenapa tidak?, berapa banyak pemuda pengangguran yang ikut kecipratan dari tambang masyarakat ini, mulai dari kuli panggul, pangalangsir dan pangaleles.
Para Toke sebagai penyandang dana (pemodal dari tambang masyarakat), pada saat ini, hanya mendapat untung yang pas-pasan. Peralatan seadanya, seperti, blower, palu dan pahat hanya bisa menghasilkan serpihan rupiah yang sebagian besarnya dipergunakan untuk dana operasional tambang setiap hari.
Hasil tambang yang meledak-ledak hanya terjadi di awal pembukaan tambang, numun, tidak saat ini. Bisa kita pastikan Hasil tambang mereka lebih rendah bahkan tidak ada apa-apanya dibanding tambang-tambang raksasa yang punya modal yang sudah menyalami dan deal dengan pemerintah.
Tidak di sumatera atau di mana saja, tambang hanya milik pengusaha. Lebih sedihnya, sebagian besar tambang di negeri ini adalah milik asing yang di isi oleh wajah-wajah pribumi. Sadar akan keterbatasan modal, para penambang lokal dengan wajah pribumi ini tidak merasa iri dan terusik meski kekayaan sumber alam mereka di nikmati oleh pengusaha asing/non pribumi. Mereka hanya berharap agar tambang mereka jangan di tutup.
Permintaan para penambang kepada pemerintah harus direspon secara positif, jangan dianggap sebagai sikap prontal masyarakat melawan pemerintah. Sebagai masyarakat sudah pasti mengadu kepada para pemimpin mereka, aspirasi dan harapan-harapan kepada pemerintah terkait soal tambang semestinya didengar dan diputuskan secara bijak agar tidak melukai nurani rakyat. Masalah ini adalah PR yang begitu rumit yang harus dipikirkan oleh para pejabat yang menjadi wakil-wakil rakyat unutk meyuarakan aspirasi mereka. Di satu sisi para pejabat harus memutar otak agar rakyat tetap bisa melangsungkan hidupnya dan di sisi lain penegakan hukum harus sama rata.
Akhirnya, tidak begitu berlebihan di penghujung tulisan ini jika kita mengutip kata bijak dari seorang sastrawan ternama, Khalil Gibran, “Aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali berjuang setiap hari sampai kutemukan harta yang layak kuserahkan padamu, harta untuk membantu kita dalam mengarungi peziarahan hidup kita”. Manusia tidak akan berhenti berjuang untuk keluarganya, maka dengar dan hormatilah manusia sebagaimana manusia(Suheri SahputraRangkuti, M.Pd).
Admin : Dina Sukandar Hasibuan,A.Md