Santri Musthafawiyah di Aniaya, Hukum Harus Bicara

…Oleh Halum Musthafa, Mahasiswa Hukum UIN Imam Bonjol Padang….

Anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan.

Hak Asasi Anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang Hak-hak Anak.

Ketentuan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Konvensi hak Anak secara khusus mengatur segala sesuatu tentang hak anak. Konvensi Hak Anak tersebut mulai beriaku pada tanggai 2 September 1990 melalui revolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa tertanggal 20 Nopember 1989 dan sesuai dengan ketentuan konvensi PasaI 49 ayat (1).

SR yg dipukuli pegawai LP Kelas II/B. Natal

Dalam konvensi ini anak adalah pemegang hak-hak dasar dan kebebasan sekaligus sebagai pihak yang menerima perlindungan khusus.

Konvensi Hak Anak ini juga lahir dari suatu kesadaran bahwa anak sesuai dengan kodratnya adalah rentan, tergantung. lugu, dan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus.

Oleh karena itu pula anak memerlukan perawatan dan perlindungan yang khusus, baik fisik maupun mental.

Indonesia pada tahun 1990 telah meratifikasi Konvensi hak Anak tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tertanggal 25 Agustus 1990.

Sesuai dengan ketentuan konvensi Pasal 49 ayat (2), maka Konvensi hak Anak dinyatakan berlaku di Indonesia sejak tanggaI 5 Oktober 1990. Sebagai konsekuensinya “seharusnya” Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk semaksimal mungkin berupaya memenuhi hak-hak anak di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Bab III Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia pada Bagian Kesepuluh mengatur mengenai hak anak.

Bagian yang mempunyai judul Hak Anak ini memberikan ketentuan pengaturan yang dituangkan ke dalam 15 (lima belas) pasal, dimana dalam Pasal 52 ayat (2) disebutkan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

1. UUPA
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjamin kesejahteraan pada setiap warga negaranya salah satunya adalah dengan memberikan perlindungan terhadap hak anak yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia dalam usahanya untuk menjamin dan mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak adalah melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dan dalam rangka penyesuaian terhadap beberapa ketentuan maka dilakukan beberapa perubahan terhadap pasal-pasal tertentu maka diundangkan Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahana atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perlindungan Anak tersebut adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Perlindungan anak terkait erat dengan lima pilar yakni, orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan negara.

Kelimanya memiliki keterkaitan satu sama lain sebagai penyelenggara perlindungan anak. Dalam bentuknya yang paling sederhana, perlindungan anak mengupayakan agar setiap hak anak tidak dirugikan.

Perlindungan anak bersifat melengkapi hak-hak lainnya menjamin bahwa anak-anak akan menerima apa yang mereka butuhkan agar mereka dapat bertahan hidup, berkembang dan tumbuh.

Akan tetapi pada kenyataannva kondisi anak-anak di Indonesia masih sangat memprihatinkan terutama yang menyangkut masalah pekerja anak, anak jalanan, dan anak-anak korban kekerasan seksual, eksploitasi seksual, dan eksploitasi seksual komersial.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang menandakan bahwa Indonesia secara nasional memiliki perhatian khusus terhadap hak-hak anak.

Kepedulian Pemerintah Indonesia terhadap anak dapat dilihat mulai dari konstitusi negara yaitu dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat 2 bahwa

“Setiap Anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Selain itu, sebagai implementasi dari ratifikasi Konvensi Hak Anak tersebut, pemerintah juga telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang sekarang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang bertujuan mewujudkan kesejahteran anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif yang berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara 1945 serta prinsip-prinsip dasar dalam konvensi hak-hak anak yaitu prinsip non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan serta penghargaan terhadap hak anak.

2. Pasal yang menjerat Pelaku
Berdasarkan penomena pemukulan terhadap seorang santri Musthafawiyah Purba Baru di Mandailing Natal (Madina), Sumut yang berinisial SR (14), hingga babak belur oleh Derman Gultom, seorang pegawai di kantor Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas II Natal pada, Senin (20/9-2021), sekitar pukul 08.00.
Pasal yang menjerat DG sebagai pelaku penganiayaan anak diatur khusus dalam Pasal 76C UU 35 tahun 2014 yang berbunyi:

“Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.”

Sementara, sanksi pidana bagi orang atau pelaku kekerasan/peganiayaan yang melanggar pasal di atas ditentukan dalam Pasal 80 UU 35 tahun 2014:

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.

(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.

(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

3. Pemberhentian
Ketentuan yang ada dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS). PP tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 30 Maret 2017.

Salah satu hal yang diatur dalam PP tersebut yaitu soal pemberhentian PNS.

Dikutip dari Bab VIII PP ini dari pasal 238-259, ada sejumlah kriteria yang membuat PNS diberhentikan, antara lain:

a. Pemberhentian atas permintaan sendiri
b. Pemberhentian karena mencapai batas usia pensiun

c. Pemberhentian karena perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah
d. Pemberhentian karena tidak cakap jasmani/rohani

e. Pemberhentian karena meninggal dunia, tewas, atau hilang

f. Pemberhentian karena melakukan tindak pidana

g. Pemberhentian karena pelanggaran disiplin

h. Pemberhentian karena menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik
i. Pemberhentian karena tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara

j. Pemberhentian karena hal lain.

Dari seluruh poin-poin tersebut, pemberhentian secara tidak hormat berlaku pada pelanggaran sebagai berikut:

a. Melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan Jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan Jabatan dan/ atau pidana umum

c. Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik

d. Dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 tahun dan pidana yang dilalukan dengan berencana.

Maka dari itu ada beberapa kemungkinan pelaku DG bisa di berhentikan dari statusnya sebagai PNS.( Penulis Alumni Ponpes Musthafawiyah Purba Baru)

 

Admin : Iskandar Hasibuan,SE.

Komentar

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.