

GAGASAN mendirikan SMK Kopi di Kec. Ulu Pungkut, Kab. Mandailing Natal patut disikapi sebagai hal yang menggembirakan.
Pertama, karena Mandailing pertama dikenal luas di seluruh dunia karena kopinya. Kedua, karena kopi bisa menjadi andalan produksi alternatif. Ketiga, kita memerlukan sekolah yang sungguh-sungguh kotekstual dengan kebutuhan lingkungannya.
Di Eropah, ketika orang menyebut nama Mandailing, yang segera terpikir adalah kopi. Ada yang menyebutnya kopi Mandheling, ada juga yang menyebut kopi Pakant, karena tumbuhnya di Pakantan.
Tapi, baik di Pakantan maupun di Ulu Pungkut, keduanya menjadi komoditas utama ekspor kopi Mandailing ke Eropah. Ekspor komoditas itu menjadi sumber utama keuangan pemerintah kolonial Belanda yang berpusat di Batavia selama bertahun-tahun.
Bayangkan saja, bulan Agustus 1848 saja terdapat 2,8 juta batang kopi di Mandailing Julu dan Mandailing Godang yang ditanam oleh 44 ribu penduduk. Ada 22 Pal Gudang Kopi di Tano Bato dan 11 Pal di Pakantan.

Sebanyak 100 orang penduduk per kampung kerja paksa setiap bulan memanggul produksi kopi tersebut ke dermaga Natal, sebelum dibangun Rambin Batang Gadis pada 8 Januari 1851. Di dermaga Natal, ada gudang penyimpanan kopi sebelum di ekspor ke Eropah.
Pentingnya perdagangan kopi itu, membuat Multatuli diangkat sebagai contreleur di Natal. Tugasnya untuk mengontrol perdagangan kopi.
Hasil ekspor itu yang menjadi sumber belanja negara Pemerintah Hindia Belanda. Tetapi karena maraknya korupsi perdagangan kopi, membuat Multatuli dimutasi ke Padang, lalu ke Lebak.
Di Lebak ia menulis buku Maxhavelaar yang amat terkenal, yang ceritanya mengulas penderitaan rakyat terjajah, termasuk dampak Tanam Paksa karena pengembangan komoditas kopi.
Karena itu, menyebut tentang kolonialisme pasti berurusan dengan Tanam Paksa, dengan Multatuli, dengan kopi, dan dengan Mandailing Natal sebagai pusat terpenting komoditas kopi di Hindia Belanda masa kolonialisme.
Sejarah itu harus menjadi latar penting berdirinya SMK Kopi di Ulu Pungkut. Agar jangan dikira bahwa sekolah unggulan ini hanya latah-latahan saja, tanpa latar sosial yang hebat.

Dengan begitu, penyelenggara sekolah memahami beban tugasnya untuk menumbuhkan kembali kejayaan komoditas kopi Mandailing, bukan sekedar menghasilkan lulusan yang bisa menanam kopi. Kalau Cuma kompetensi kecakapan menanam kopi saja, sekolah itu tak perlu harus di Mandailing.
Kedua, kopi sepatutnya bisa menjadi andalan produksi daerah Mandailing Natal ketika usaha pertanian dan perkebunan lain makin tidak berpengharapan. Misalnya, lahan pertanian tanaman pangan semakin menyempit.
Bayangkan saja, tak cukup 20 persen penduduk Mandailing Natal yang memiliki lahan persawahan. Apalagi lahan itu juga yang digunakan sebagai lahan palawija antara musim tanam. Dengan harga gabah dan palawija yang tidak pernah memadai dibanding cost produksi tani, pilihan terhadap pertanian lahan persawahan ini makin tidak menjanjikan kesejahteraan.
Tanaman kopi sudah seharusnya menjadi pilihan yang menjanjikan bagi petani. Selain karena tetap memiliki daya tarik pasar, juga relatif lebih mudah tata kelolanya dibanding tanaman perkebunan lain, seperti Kakao, misalnya. Masalahnya hanyalah kebutuhan daya dukung lahan dan kecakapan petani.
Daya dukung lahan tentu harus melalui peran Pemerintah Daerah bagaimana membuka akses yang sebesar-besarnya bagi petani untuk memiliki lahan perkebunan kopi. Tugas SMK Kopi sudah tentu memberi kecakapan tata kelola perkebunan kopi dari segala aspek.( Bersambung Terus)
Admin : Dina Sukandar Hasibuan,A.Md