JAKARTA (Malintangpos Online) : Dengan Memakai Ulos khas Batak Angkola Puluhan Warga Dusun Gunung Hasahatan, Dusun Paske dan Dusun Dano, Desa Aek Batangpaya Kecamatan Sipirok Tapsel Melakukan Unjuk Rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta
Para demontrans yang mewakili 140 korban mega proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Simarboru. Rabu (20/9)siang kemarin , mereka mendatangi depan Istana Negara untuk meminta Jokowi turun tangan menyelesaikan konflik lahan serta memberikan perlindungan hukum bagi pemilik lahan di lokasi Tersebut.
Pantauan Wartawan di depan istana Presiden Perwakilan warga yang tergabung dalam Forum Warga Korban Pembebasan Lahan PLTA Simarboru membentangkan spanduk raksasa 140 x 4 meter bertuliskan “Pak Jokowi Tolonglah Kami, Proyek Nawacita Datang, Tanah Kami Hilang”.
Berselang Beberapa Menit Ber orasi dan Membacakan Tuntutan , Pihak Istana yang menemui para pengunjuk Rasa
“Staf Khusus Presiden Jokowi mau bertemu dengan kami. Kepada mereka kami menyerahkan pernyataan sikap,” kata Koordinator Aksi, Bangun Siregar, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (20/9) lalu.
Bangun juga Nenuturkan Nmbahwa Pembangunan jaringan tenaga listrik PLTA Simarboru meliputi tiga kecamatan yaitu Sipirok, Marancar dan Batangtoru, maka itu dinamakan Simarboru. Proyek itu digarap oleh PT North Sumatera Hydro Energy.
Bangun yang Merupakam kuasa hukum para korban mengatakan, masyarakat pemilik lahan yang masuk dalam zona proyek yang akan dibebaskan, seluas 600 hektar di daerah aliran sungai Batangtoru, pada awalnya menyambut baik kehadiran proyek. Tapi dengan catatan, proses dan tatacara pembayaran serta nilai ganti rugi tanah mereka lebih manusiawi, terlepas dari tekanan dan intimidasi.
Tetapi, lanjut Bangun, harapan warga tidak terwujud. Khususnya di Desa Aek Batang Paya dan Desa Luat Lombang, Kecamatan Sipirok.
“Justru pembebasan lahan oleh perusahaan itu sangat polemik. Warga pemilik lahan ditakut-takuti, bahkan diintimidasi oleh tim pembebasan tanah dan oknum yang mengatas namakan perusahaan agar menjual tanahnya,” ungkap Bangun Siregar.
Dia menyebut harga yang ditawarkan sangat rendah yakni Rp 8000 per meter. Bahkan ada juga yang dihargai Rp 4000 ribu per meter. Harga tersebut sudah termasuk tanaman yang ada di atas lahan. Karena terus diintimidasi, akhirnya warga terpaksa menjualnya.
“Kalau warga pemilik lahan menolak menjual tanahnya maka uang ganti rugi akan diambil di pengadilan dan tanah mereka akan dibuldozer oleh perusahaan. Dengan terpaksa karena terus menerus diintimidasi akhirnya menyerah dan melepas tanahnya,” terang Bangun Siregar.
Dia mengakui, tim pembebasan lahan (bukan panitia pembebasan tanah yang terdiri dari pihak Camat dan Lurah) sempat memberikan janji-janji kepada warga pemilik lahan. Warga dijanjikan, kalau mau menjual lahannya seharga Rp 8000 per meter dan jika ada perbedaan harga pembebasan di lokasi tanah di hamparan yang sama, maka perusahaan akan melakukan penyesuaian harga dan akan membayarnya dengan harga tinggi.
Nyatanya, Bangun tambahkan, ada beberapa persil tanah di lokasi proyek PLTA yang dibayar dengan harga bervariasi dari Rp 60 ribu per meter hingga Rp 80 ribu per meter. Bahkan tanaman mereka pun dibayar.
Menurut Bangun, di lokasi lahan warga saat ini tengah dibangun jalan. Perusahaan terkesan mengejar target karena ada kabar Presiden Jokowi akan meletakkan batu pertama pembangunan mega proyek PLTA yang menghabiskan anggaran Rp 20 triliun itu.
Para pengunjuk rasa berencana melaporkan dugaan gratifikasi proses pembebasan lahan ke Komisi Pemberantasan Korupsi Yang diduga Syarat kepen(sum/sabar)
Admin: Siti Putriani