Topik ini bagi sebagian kita, mungkin kedengaran aneh. Karena sebagai warga negara, tentu, sedikit atau banyak, pasti pernah belajar tentang kenegaraan dan bersikap sebagai warga negara. Semenjak masuk di sekolah dasar, bahkan sampai keperguruan tinggi kita sudah banyak memahami “bagaimana semestinya menjadi warga negara?”. Tidak bermaksud menggurui, saya pikir, kembali memahami dan belajar tentang ke Indonesiaan bukanlah hal yang tabu dan aneh. Setelah lebih dari setengah abad kita merdeka, idealnya, sebagai warga negara kita sudah semakin matang dan dewasa, apalagi dalam menyikapi hal-hal yang berkaitan dengan isu kenegaraan.
Amat disayangkan, jika kita yang mengaku sebagai rakyat Indonesia dengan meyakini seluruh konsekwensinya, kembali mempertanyakan dasar negaranya. Bahkan segilintir oknum ada yang ingin menukar ideologi negaranya. Untung saja, pemerintah bertindak cepat dan mengantisipasinya sebelum hal itu terjadi. Ketika kita menerima bentuk dan dasar negara Indonesia dan seluruh konsekwensinya, berarti, kita juga harus mendukung setiap upaya pembangunan yang sejalan dengan semangat kostitusi.
Bisa kita pastikan, carut-marutnya persoalan negeri kita akhir ini, khususnya yang terkait dengan isu politik dan kenegraan, adalah cerminan dari kurangnya kelapangan hati menerima hadirnya negera dalam hidup masing-masing. Sehingga, menjadi bias yang dilampiaskan lewat ujaran kebencian. Fenomena ini bisa kita jumpai secara nyata menghias di dinding sosmed maupun pemberitaan elektronik lainnya. Ditambah lagi dengan tindak pidana yang terjadi di kalangan pejabat, mulai dari maling anggaran sampai pada kasus maling teriak maling, menambah kekecewaan dan rasa sakit yang dialami oleh warga negara. Kenyataan ini pun, mau tidak mau, akan menjauhkan seseorang untuk memahami negaranya.
Menjadikan peristiwa di atas sebagai alasan untuk menolak negara dalam kehidupan berbangsa, berarti, kita sama saja dengan mereka, cuma bedanya, mereka menolak ruh kenegaraan lewat pengkhianatan dan kita menolak negara karena kekecewaan. Terkait dengan peristiwa-peristiwa di atas, saya pikir lebih baik dijadikan bahan untuk perenungan bagi kita semua, agar kita tetap optimis untuk memperbaiki negera ini dengan seiring berjalannya waktu akan kembali pada puncak kejayaannya.
Menerima negara secara keseluruhan bukan berarati kita setuju dengan pengkhianatan. Karena pengkhianatan yang berada dibalik simbol negara adalah penyakit ganas dan akurt yang mesti diamputasi dari tubuh negeri ini. Artinya, sebagai warga negara yang paham akan negaranya harus ikut campur membidani lahirnya perlawanan terhadap borok negeri ini. Sebaliknya, menolak pengkhiatan terhadap negara bukan berarti menolak negara. Kita harus tau betul mana target yang harus dibidik dari oknum-oknum kotor yang bersembunyi dibalik simbol negara, bukan melawan negara.
Siapapun kita, mesti menerima Indonesia dengan seluruh konsekwensinya. Menjadikan hal ini sebagai dasar prinsip pemikiran yang mengikat semua pihak dan kita harus pegang teguh untuk menjadikan jiwa kenegaraan yang utuh. Tidak ada warga negara level pertama dan terakhir, di negeri ini, kita semua sama, sama-sama memiliki hak dan tanggungjawab merawat dan membesarkan negeri ini. Alangkah salahnya, jika sebagian kita menempatkan diri lebih rendah dan mengemis hati terhadap penyelenggara negara.
Maraknya personal yang merasa dirinya paling tokoh dan paling benar di negeri ini, memicu lahirnya kelompok yang akan selalu menganggap negeri ini salah. Dalam artian kata, negara tidak lagi jadi penentu bagi masyarakatnya, malah sebaliknya, oknum-oknum inilah yang memberi vonis benar atau tidaknya sebuah tindakan. Peristiwa ini dipicu oleh minimnya keadilan yang dirasakan oleh masyarakat sehingga muncullah pengadilan-pengadilan jalanan dan hakim jalanan yang selalu merasa benar.
Akhirnya, mari kita kembali merunut pola pikir, menata pemahaman tentang ke Indonesiaan secara utuh. Kembali memahami hak dan tanggungjawab dalam bernegara. Memutus mata rantai keputus asaan yang dibangun lewat opini yang alibi. Kesadaran akan hak dan tanggunjawab dalam bernegara akan membentuk jiwa dan pemikiran yang merdeka dalam naungan hukum negara. Menciptakan kemandirian dalam berbuat dan berpendapat, tidak asal hantam kiri kanan, bertindak secara taratur dan terukur serta memahami batas-batas tertentu yang tidak melempaui haknya. Dengan demikian, memahami negara dengan benar akan membentuk jiwa dan sikap kenegaraan yang benar pula.(Suheri Sahputra Rangkuti, M.Pd)
Admin : Siti Pitriani Lubis