
Foto hanya untuk pemanis berita
SEMALAM, ketika sedang bikin status dan belum selesai, saya kedatangan tamu istimewa. Karena ending-nya masih kurang enak, status belum di-posting. HP saya tutup dulu.
Setelah tamu pamit, saya cek medsos. Ternyata, draf posting-an sudah hilang. Sayang sekali….
Itu tentang kawan-kawan yang komentar di lopo kopi. Mereka membicarakan peluang di Pileg 2024. Ada yang bicara asbun (asal bunyi, tong kosong nyaring bunyinya), tanpa mikir apa manfaat dan bagaimana akibatnya. Pokoknya, ngomong aja, nyerocos menumpahkan isi kepalanya.
Sepertinya, yang ini sudah tabiat, kebiasaan. Sampai-sampai ada orang lain yang sengaja memanfaatkannya untuk menyebar issu, rumor dan desas (positif-negatif).
Kali ini, dia bikin pendapat. Katanya, biasanya petinggi-petinggi partai politik memanfaatkan orang-orang di kampung untuk sekedar cari suara, termasuk melalui caleg. Nah, kan…, rasanya agak menusuk ni….
Ada juga yang, karena terpancing pembicaraan lopo, mengulang-ulang pendapat pribadinya. Kali ini dia menyinggung soal peluang pencalegan. Menurutnya, kalau gak yakin menang atau ragu-ragu, main sekedar saja. Bahkan, orang ini kasih saran, lebih baik jadi seorang “pandurung” (sekedar pengumpul suara). Ngeri juga, nekad masuk ranah terlarang. Tapi, gak apa-apalah. Mungkin dia sudah merasa orang dalam. Haha….
Terus, yang lain ada yang sekedar menimpali. Ada juga yang diam saja menyimak. Namanya juga “kecek lopo”. Bukan ruang seminar. Bukan “pantar bolak paradaton”. Bukan obrolan tertutup antara dua orang.
Beberapa waktu lalu, ada juga yang kayaknya sengaja mendekat. Dia mengaku gak disuruh siapa-siapa. Dia cuma mau bilang, merasa khawatir kalau-kalau orang yang sudah condong ke jalur agama masuk ke ranah politik, seperti nyaleg.
Apa yang bikin dia cemas?
Ini, katanya juga, orang yang masuk jalur politik, seperti politisi (anggota dewan), akan tergelincir di tengah begitu banyak godaan dan begitu banyak kesempatan. Nah, lho….
Kok cemasnya seperti itu? Mungkin ada yang seperti itu. Tapi ‘kan logikanya, orang kayak gitu punya prinsip dan pegang nilai-nilai Islam-nya, lebih tahan godaan dan jadi benteng tersendiri bagi lembaga seperti DPR/DPRD.
Lalu, bagaimana dengan orang yang sebut saja gak condong ke agama? Apa mereka ini kebal godaan dan tekanan, sehingga mereka lebih lebih pantas jadi politisi dan yang seperti ustadz dan yang memang ustadz gak boleh di DPR/DPRD?
Jangan sesat pikir, Kawan!
Nah, kembali ke “kecek lopo” itu, apakah obrolan seperti itu bisa melemahkan semangatmu, Kawan? Saya rasa, bisa saja jadi letoy. Iya, dan bisa jadi juga, mengecoh simpati atau empati kawan lain yang sudah mulai mengkristal. Ini bahaya juga!
Tapi, lopo adalah celah. Celah untuk sekolah politik, penguatan budaya, dan syiar agama, sekalipun belum ada riset yang membenarkannya. Teman-teman di lopo adalah sahabat, mudah dekat dan pada dasarnya penolong yang solid dan kuat.
Walau suasananya santai, lopo juga mengesankan gambaran keadaan seenaknya.
Ya, tetap saja ke lopo. Bisa juga buang suntuk sekaligus bunuh waktu (killing time)? Yang asyik, ya enjoy. Makanya, banyak juga politisi yang mampir.
Yang kayak tadi itu, biar saja dengan gayanya. Yang terpenting, jangan biarkan jadi bikin goyah, tetap rangkul dan harus makin semangat.
Lapangan politik jauh lebih luas. Jangan patah di lopo, kawan! Selamat datang kembali “proporsional terbuka”!
Penulis : Ludfan Nasution.S.Sos
Admin : Iskandar Hasibuan.