KONVERSI SUARA MENJADI KURSI: MENGENAL SAINTE LAGUE MURNI DAN KUOTA HARE

Oleh : Agus Salam Nasution

(Ketua KPU Kabupaten Mandailing Natal)

Agussalam Nasution

Kamis, 20 Juli 2017, menjadi salah satu hari yang cukup bersejarah dalam perkembangan tatanan demokrasi Indonesia. Bagaimana tidak, pada hari itu lewat sidang paripurna, DPR RI akhirnya menyelesaikan pembahasan dan pengambilan keputusan terhadap RUU Pemilu yang diajukan oleh pemerintah. Sebelumya Pansus RUU pemilu menyisakan 5 (lima) isu krusial yang tidak mendapat kata sepakat di tingkat pansus maupun di tingkat komisi. Kelima isu krusial tersebut adalah tentang ambang batas presiden, ambang batas parlemen, besaran daerah pemilihan, sistem pemilu dan metode konversi suara. Khusus mengenai metode konversi suara menjadi kursi, DPR RI akhirnya dihadapkan pada dua pilihan yaitu antara Kuota Hare dan Sainte Lague Murni.

Metode konversi suara menjadi salah satu isu yang krusial untuk memperoleh kata mufakat di DPR RI, karena metode konversi suara yang dipakai akan sangat menentukan perolehan kursi suatu partai politik. Misalnya, apabila dengan menggunakan metode kuota suatu partai dapat memperoleh 5 kursi, tapi belum tentu kalau metode perhitungannya dengan menggunakan Sainte Lague, bisa jadi suatu partai tersebut mendapat 4 atau 6 kursi. Itulah sebabnya metode konversi suara termasuk salah satu variabel utama dari sebuah sistem pemilu.

Metode-Metode Konversi Suara

Metode konversi suara menjadi kursi adalah tatacara perhitungan hasil pemilu untuk menentukan perolehan kursi partai-partai politik di lembaga-lembaga perwakilan berdasarkan hasil perolehan suara sah masing-masing partai politik peserta pemilu. Metode konversi suara dalam pemilu dibedakan kepada 3 (tiga) rumpun metode, yaitu, Rumpun Metode Kuota, Rumpun Metode Divisor, dan Rumpun Metode lain-lain. Metode Kuota dicirikan dengan metode perhitungan menggunakan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) yang membagi jumlah total suara sah dengan jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan tertentu, dan selalu memiliki sisa suara yang memerlukan perhitungan pada tahap berikutnya untuk sisa suara/sisa kursi yaitu dengan metode largest-remainder (sisa suara terbanyak). Metode Kuota ini terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu Kuota Hare, Kuota Drop dan Kuota Imperiali. Sedangkan Metode Divisor ditandai dengan adanya memberi bilangan pembagi tertentu yang sudah fixed, pada metode ini tidak dikenal adanya BPP maupun sisa suara, karena suara, langsung diranking dan dibagi. Metode divisor ini  terdiri dari 4 (empat) macam, yaitu Divisor D’Hondt, Divisor Sainte Lague (Murni), Divisor Sainte Lague (Modifikasi), dan Divisor Danish. Adapun Rumpun Metode Lainnya yitu metode yang tidak masuk kedalam bagian dari kedua rumpun metode di atas, dan terdiri dari (2)  dua macam yaitu, Metode Hagenbach-Bischoff dan Metode (Hare)-Niemeyer.

Mengutip dari Republika, Kolom Teraju, edisi Selasa 12 Juli 2011, hal. 23. Berikut didefenisikan perbedaan dari metode-metode perhitungan suara tersebut.

  1. Metode Kuota
  • Kuota Hare, yaitu perhitungan dengan rumus: total jumlah suara sah dibagi dengan total jumlah kursi yang harus diisi.
  • Kuota Droop, yaitu perhitungan dengan rumus: (total suara sah/ jumlah kursi + 1) + 1.
  • Kuota Imperiali, yaitu perhitungan dengan membagi total jumlah suara sah + 2 atau lebih kursi yang harus diisi.
  1. Metode Divisor
  • D’Hondt, yaitu suara yang diraih setiap partai dibagi dengan angka serial 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan seterusnya.
  • Sainte Lague (Murni), yaitu suara yang diraih setiap partai dibagi dengan angka serial 1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya.
  • Sainte Lague (Modifikasi), yaitu suara yang diraih setiap partai dibagi dengan angka serial 1.4, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya.
  • Danish, yaitu suara yang diraih setiap partai dibagi dengan angka serial 1, 4, 7, 10, 13, dan seterusnya.
  1. Lainnya
  • Hagenbach-Bischoff yang merupakan varian dari kuota droop dimana dalam perhitungannya menggunakan kuota droop untuk perhitungan tahap awal, dan setelah itu menggunakan Divisor D’Hondt untuk pendistribusian sisa kursi kepada partai, dimulai dari sisa suara terbesar.
  • (Hare)-Niemeyer, metode ini mempunyai efek yang sama dengan Hare-Quota, meskidemikian, dilakukan dengan cara lain: (jumlah suara partai/total suara sah) x jumlah total kursi.

Sesuai dengan perkembangan pembahasan terakhir rapat RUU Pemilu di DPR RI tentang metode konversi suara yang mengkerucutkan pembahasan kepada dua opsi yaitu Kuota Hare dan Sainte Lague (Murni), maka tulisan ini dibatasi kepada dua metode tersebut.

 Kuota Hare

Sesuai dengan namanya, metode ini dirumuskan oleh Sir Thomas Hare (1806-1891), seorang ahli hukum Inggris Raya, yang pada masa kehidupannya tertarik untuk melakukan reformasi terhadap sistem pemilu di negaranya. Metode ini dirumuskannya dengan maksud untuk menciptakan sistem pemilihan yang dapat menciptakan hasil yang proporsional bagi setiap kalangan. Metode Kuota Hare ini diterapkan disejumlah negara seperti Austria, Filipina, Meksiko, Italia, Korea Selatan dan beberapa negara di kawasan Afrika. Sementara di Inggris sendiri metode Hare ini belum pernah diterapkan, karena Pemilu Inggris Raya masih menggunakan sistem “first-past-the-post”, (satu kursi setiap daerah pemilihan). Adapun di Indonesia, metode Hare ini sebenarnya bukanlah suatu hal yang asing, karena sudah sering digunakan dari pemilu ke pemilu kendati dengan berbagai varian penerapan. Oleh karena itu ulasan tentang metode ini tidak perlu panjang lebar penulis paparkan, sebab dalam pemilu-pemilu sebelumnya metode ini telah digunakan dalam pemilu Indonesia.

Sebagaimana penulis jelaskan di awal, bahwa Kuota Hare adalah metode pengkonversian suara menjadi kursi dengan menggunakan rumus : Total Jumlah Suara sah dibagi dengan Jumlah alokasi Kursi yang harus diisi. Untuk mengkonversi suara menjadi kursi melalui metode ini, maka ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan. Tahap pertama yaitumenentukan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan (dapil) dengan menggunakan rumus V (vote/total suara sah) dibagi S (seat/jumlah alokasi kursi). Sedangkan tahap kedua, adalah jumlah perolehan suara partai politik di suatu dapil dibagi dengan hasil hitung harga satu kursi yang telah dilakukan di tahap pertama untuk mengetahui jumlah perolehan kursi masing-masing partai di dapil tersebut. Selanjutnya, apabila masih ada kursi yang belum terbagi (sisa), maka dilakukanlah tahap ketiga dengan cara mendistribusikan kursi yang belum terbagi kepada partai-partai yang memiliki sisa suara terbanyak secara berututan dimulai dari yang terbanyak pertama sampai seterusnya.

Untuk lebih memudahkan pemahaman tentang metode Kuota Hare ini, berikut ini penulis ambil contoh pengkonversian suara menjadi kursi hasil Pemilu Tahun 2014 di Daerah Pemilihan Mandailing Natal (Madina) 1.

Tabel 1. Konversi Suara Menjadi Kursi Menggunakan Metode

Kuota Hare Hasil Pemilu DPRD Madina Dapil 1 Tahun 2014.

Daerah Pemilihan                                            : Mandailing Natal 1

Alokasi kursi                                                   : 10

Jumlah suara sah seluruh partai politik            : 54.170

Angka BPP                                                     : 5.417

 

N

O

 

PARTAI

 

SUARA SAH

PERHITUNGAN TAHAP I PERHITUNGAN TAHAP II JUMLAH AKHIR PEROLEHAN KURSI
KUR

SI

SISA KUR

SI

SISA SUARA PERINGKAT SISA SUARA TERBANYAK PEROLEHAN KURSI BERDASARKAN SISA SUARA TERBANYAK
1 NASDEM 2.603  

 

 

 

 

 

4

2.603 4 1 1
2 PKB 4.112 4.112 1 1 1
3 PKS 1.939 1.939 5
4 PDI PERJUANGAN 1.216 1.216 7
5 GOLKAR 5.706 1 289 12 1
6 GERINDRA 6.901 1 1.484 6 1
7 DEMOKRAT 6.324 1 907 9 1
8 PAN 6.244 1 827 10 1
9 PPP 3.093 3.093 3 1 1
10 HANURA 11.958 2 1.124 8 2
14 PBB 3.736 3.736 2 1 1
15 PKP INDONESIA 338 338 11
  Jumlah 54.170 6 21.668   4 10

 

Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dijelaskan bahwa Pada Pemilu 2014  Dapil Madina 1 yang terdiri dari Kecamatan Panyabungan, Panyabungan Timur dan Panyabungan Barat memiliki total jumlah suara sah sebanyak 54.170  dengan alokasi kursi sebanyak 10 kursi. Maka dalam perhitungan tahap pertama ditentukanlah harga satu kursi untuk dapil  Madina 1 dengan rumus V/S = 54.170/10 = 5.417.  Berdasarkan rumus tersebut, maka diketahui harga satu kursi untuk dapil Madina 1 adalah 5.417 suara. Harga satu kursi ini disebut juga dengan istilah Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Setelah diketahui harga satu kursi, maka langkah berikutnya adalah membagi jumlah perolehan suara masing-masing partai politik dengan harga satu kursi. Apabila perolehan suara suatu partai sama dengan atau melebihi angka BPP maka partai tersebut akan mendapatkan kursi dalam perhitungan tahap pertama. Apabila dalam perhitungan tahap pertama seluruh kursi belum terbagi maka akan dilakukan perhitungan tahap kedua dengan menghitung sisa suara dan selanjutnya membagikan sisa kursi kepada partai-partai yang memiliki sisa suara terbanyak pertama, kedua, ketiga dan seterusnya hingga seluruh kursi terbagi habis.(Bersambung Besok)

Admin : Dina Sukandar Hasibuan,A.Md

Komentar

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.