…. Oleh: Catur Alfath Satriya
Hakim di Pengadilan Negeri Mandailing Natal, Saat ini Indonesia sedang berada di persimpangan jalan.
Transisi dari pemerintah orde baru menuju orde reformasi di tahun 1998 pada prinsipnya hanya menghadirkan demokrasi prosedural bukan substansial.
Pemilihan Umum yang dilakukan setelah reformasi pada tahun 2004 sampai yang terakhir di tahun 2019 hanya menjadikan rakyat sebagai lumbung suara bukan pemilik kedaulatan yang sesungguhnya.
Suara rakyat hanya ditagih ketika pemungutan suara setelah itu tidak ada lagi suara rakyat yang ada hanya suara oligarki dari masing-masing pemimpin partai.
Berkembangnya sosial media pada prinsipnya memberikan harapan atmosfer politik menjadi lebih partisipatif setidaknya komentar publik terhadap suatu wacana kebijakan yang ingin dikeluarkan dapat memberikan dialektika yang lebih sehat.
Namun, apa daya harapan tersebut sirna dengan lahirnya pendengung (buzzer) yang menjadi garda terdepan istana dalam membunuh nalar kritis publik.
Pasukan buzzer selalu memenuhi timeline media sosial ketika muncul wacana kebijakan. Kalau muncul untuk berdialektika tidak menjadi soal namun ini sebaliknya yang dilakukan oleh mereka lebih sering stigmatisasi kadrun, doxing, bahkan yang lebih parah membuat laporan polisi dengan dalil UU ITE.
Hukum dijadikan alat untuk membunuh demokrasi ini yang sedang terjadi. Penerapan UU ITE adalah contoh yang paling relevan dan kontekstual bagaimana aparat penegak hukum menggunakan UU ITE untuk menjerat suara-suara anti pemerintah.
Meminjam perspektif Amartya Sen seharusnya pembangunan harus menghasilkan kebebasan dan peningkatan kapabilitas bukan sebaliknya yang membuat terjadinya deprivasi kapabilitas (capability deprivation).
Di sisi yang lain institusi penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini dianggap sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia malah semakin dilemahkan dengan diterapkannya Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat beralihnya status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
TWK dijadikan alat untuk melakukan seleksi ideologis (ideological screening) terhadap para pegawai KPK yang selama ini senantiasa menjaga integritas dan mempunyai komitmen kuat dalam memberantas korupsi di republik ini.
Pengeroposan KPK yang bahkan dibiarkan begitu saja oleh pimpinan KPK memberikan sinyal kepada masyarakat bahwa korupsi masih akan kokoh dan tidak akan pernah hilang di bumi pertiwi ini.
Institusi Publik yang Bersih dan Responsif
Daren Acemoglu dan James A. Robinson dalam buku Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty berpandangan bahwa salah satu yang membuat sebuah bangsa menjadi gagal adalah institusi publik yang tidak responsif dan koruptif.
Hal ini dikarenakan institusi publik yang koruptif mempunyai kecenderungan yang tidak demokratis sehingga hasil dari pengambilan kebijakan di institusi tersebut hanya menguntungkan segelintir orang terlalu eksklusif dan tidak inklusif.
Secara implisit pandangan ini memberikan gambaran kepada kita bahwa demokrasi substansial harus diwujudkan di dalam institusi publik suatu negara jika negara tersebut tidak ingin menjadi negara yang gagal.
Namun demokrasi yang substansial tidak akan hadir apabila hukum yang menjadi penyangganya bukanlah hukum yang responsif.
Sebagaimana pendapat Nonet-Selznick hukum responsif adalah sebuah hukum yang terbuka dan adaptif dengan perkembangan zaman.
Hukum responsif hadir untuk melayani aspirasi publik bukan seperti hukum represif yang hadir untuk melayani kekuasaan atau hukum otonom yang tertutup terhadap perkembangan zaman dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Paradigma hukum responsif harus diterapkan dalam di setiap proses pembentukan hukum, pelaksanaan hukum, maupun penegakan hukum.
Di titik inilah demokrasi harus menemukan keseimbangannya dengan hukum. Hukum yang responsif akan menghidupkan demokrasi begitu juga sebaliknya.
Oleh sebab itu, sebagai seorang intelektual kita senantiasa harus menjaga keseimbangan ini.
Admin : Dita Risky Saputri,SKM.