
(Sebuah Wacana dan Evaluasi Menuju Pemilu 2019)
Oleh : Agus Salam

Salah satu variabel penting dalam sistem pemilu proporsional adalah besaran daerah pemilihan (district magnitude), hal ini karena daerah pemilihan memiliki pengaruh besar dalam pengkonversian suara menjadi kursi di parlemen. Duduk tidaknya seorang calon anggota DPR di lembaga legislatif atau menangnya suatu partai dalam pemilu dapat dipengaruhi oleh daerah pemilihan yang dibentuk, itulah sebabnya besaran daerah pemilihan termasuk salah satu isu krusial yang saat ini masih belum selesai diperbincangkan oleh Pansus RUU Pemilu di DPR RI. Selain itu kesinambungan hubungan penduduk dengan wakilnya di DPR/DPRD juga sangat dipengaruhi oleh besaran daerah pemilihan. Oleh karena itu, pembentukan daerah pemilihan menjadi suatu hal yang semestinya menjadi perhatian bersama terutama oleh masyarakt sipil, jangan sampai daerah pemilihan dibuat hanya semata-mata untuk memenuhi keinginan partai politik tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat, karena tujuan dari Pemilihan Umum bukanlah sebatas untuk memfasilitasi partai politik (peserta pemilu) memperoleh kursi kekuasaan, lebih dari itu sesungguhnya tujuan utama dari dilaksanakannya pemilu adalah untuk memfasilitasi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Siapa wakil rakyat di DPR/DPRD harus jelas diketahui oleh rakyat. suatu komunitas rakyat harus merasa memiliki wakil di parlemen dan dapat dengan mudah menyalurkan aspirasinya kepada wakilnya di parlemen. Dengan adanya daerah pemilihan, hubungan akuntabilitas perwakilan hendaknya dapat tercipta dan terjaga dengan baik: disatu pihak penduduk/pemilih bisa berhubungan dengan wakil-wakilnya untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasinya, dilain pihak para wakil mengetahui dengan pasti penduduk dan pemilih mana yang paling utama harus ia perjuangkan aspirasinya.
Kalau kita melihat hasil Pemilu DPRD Madina 2014, ada sejumlah wilayah administrasi kecamatan yang “tidak punya wakil di DPRD Madina”. Tidak punya wakil maksudnya dalam tulisan ini adalah tidak ada putra daerah kecamatan tersebut atau orang yang berasal dari kecamatan tersebut atau tidak ada warga kecamatan tersebut yang duduk di lembaga DPRD. Sering kita dengar keluhan masyarakat di sebagian kecamatan “inda adong anggota DPRD sian hitaon”, ungkapan seperti ini tidaklah semestinya keluar dari mulut penduduk jikalau para wakil rakyat terpilih bisa menjaga hubungan emosional dan hubungan aspirasi dengan masyarakat penduduk di daerah pemilihannya. Oleh karena itulah penerapan prinsip-prinsip pemilu demokratis dalam pembentukan daerah pemilihan adalah suatu kemestian demi untuk menciptakan hubungan yang akuntabel antara penduduk/masyarakat dengan wakilnya di DPRD, karena sesungguhnya salah satu tujuan dari pembentukan daerah pemilihan itu adalah untuk memperjelas hubungan penduduk dan pemilih dengan wakilnya. Pada saat pemilu, penduduk dan pemilih mengetahui calon-calon yang hendak dipilih, sedangkan setelah pemilu, penduduk dan pemilih bisa menyalurkan aspirasi kepada wakil-wakil rakyat yang terpilih.
Memang daerah pemilihan bukanlah variable penentu untuk menghasilkan lembaga perwakilan (DPRD) yang aspiratif, karena daerah pemilihan hanyalah pranata awal yang dimaksudkan untuk memperjelas hubungan antara penduduk dengan wakilnya. Aspiratif tidaknya lembaga DPRD lebih ditentukan sendiri oleh anggota-anggota DPRD yang terpilih itu. Meski demikan, evaluasi terhadap pembentukan daerah pemilihan penting dilakukan sebagai salah satu upaya untuk terus memperbaiki kualitas demokrasi di negeri ini. Dalam konteks inilah penulis bermaksud untuk mengevaluasi pembentukan daerah pemilihan DPRD Madina 2014. Evaluasi ini tentunya hanyalah pemikiran pribadi penulis selaku masyarakat Mandailing Natal yang peduli terhadap peningkatan kualitas demokrasi di daerah ini. Menurut penulis evaluasi terhadap pembentukan daerah pemilihan penting dilakukan untuk memastikan penerapan prinsip-prinsip pemilu demokrasi dalam pembentukan daerah pemilihan demi melindungi kepentingan penduduk untuk mempermudah pemilihan wakil rakyat pada masa pemilu dan mempermudah penyaluran aspirasi kepada para wakilnya pada pasca pemilu. Oleh sebab itulah dengan adanya tulisan ini penulis berharap masyarakat Madina juga nantinya dapat memberikan masukan kepada KPU Kabupaten Madina tentang daerah pemilihan yang ideal menurut masyarakat, karena sesungguhnya isu pembentukan daerah pemilihan bukanlah hanya monopoli partai politik peserta pemilu dan penyelenggara pemilu saja, akan tetapi aspirasi dan wacana dari masyarakat juga harus didengar. Itulah sebabnya undang-undang menentukan bahwa pembentukan daerah pemilihan harus melalui uji public terlebih dahulu. Nah, sebelum masa tahapan pembentukan daerah pemilihan 2019 tiba, alangkah baiknya isu pembentukan daerah pemilihan diwacanakan terlebih dahulu kepada masyarakat sehingga nantinya ketika sudah masuk tahapan uji publik pembentukan daerah pemilihan untuk pemilu 2019, masyarakat sedikit banyak sudah memiliki bahan materi untuk didiskusikan sehingga pada akhirya dapat memberikan masukan kepada KPU Kabupaten selaku perancang daerah pemilihan DPRD. Akan tetapi, itupun kalau sistem pemilu 2019 nanti masih sama dengan sistem pemilu 2014, karena saat tulisan ini dibuat, DPR sebagai pembuat Undang-Undang belum menyepakati sistem pemilu yang bagaimana yang akan dipakai pada Pemilu 2019. Kalaupun sekiranya sistem pemilu yang dipakai nantinya tidak lagi sama dengan sistem Pemilu 2014 yang lalu, maka tulisan ini setidaknya dapat mengkaji sejauh mana penerapan prinsip, metode, dan langkah pembentukan daerah pemilihan dalam pembentukan daerah pemilihan DPRD Madina 2014( Bersambung Tiap Hari ).