Indah itu hanya sekejab. Juga pertemuan yang tak disengaja itu. Kami bertemu di bulan November, tanggal 15, dengan rambutnya yang selalu mengerbas, dengan segala keceriaan gadis usia delapan belasan.
“Panggil aku Rita,” katanya, seperti suara angin di antara daun bambu. “Lahir subuh, bintang Leo.”
Dan aku tertawa. Tentu saja. Kesan pertamaku dia begitu berani, senyumnya yang manis membuka hari. Dan aku menandainya dalam diary, my nice dream. Aku yakin selamanya.
Begitulah kami bertemu, awal dari segala kisah singkat tapi berkesan bertahun-tahun. Lihat saja pagi ini, sepulang sekolah, masih pakai baju putih abu-abu, sambil memeluk buku di dekapan, kami langsung bertemu.
“Apa,” katanya agak judes. Hum, senyumnya yang indah menekan rasa kagetku. Suaranya renyah memukau.
“Jalan, yuk?” ajakku.
“Kemana?”
“Kemana-mana!”
“Kalau aku gak mau?”
“Harus mau!”
“Maksa nih?”
“Gak. Minta,” dan aku senyum.
“Masa pakai baju gini.”
“Emang salah?”
“Emang gak risih, jalan dengan anak sekolahan.”
“Gak. Kan kita pacaran.”
“Kata siapa?”
“Kata aku.”
Dan ia tertawa. Senyumnya lekat hingga sekarang.
“Tunggu deh, aku ganti baju dulu, ya. Gak sampai sepuluh menit. Ya? Gak papa, ya?” Dan ia berbalik ke arah rumah di seberang jalan itu. Dan aku menunggu di bawah pohon Nangka, sambil terus memandangi rumah bercat pastel itu.
Hanya sebentar. Ia lalu muncul dengan baju berwarna biru keputih-putihan, bercelana jeans hitam, dengan rambut yang selalu mengerbas tiap kali melangkah. Dan aku tak bisa menyembunyikan hatiku yang melonjak girang.
“Kemana,” katanya?
“Kemana aja.”
Dan kami berjalan bersisihan, sesekali nekat memegang tangannya, dan segera ia tarik kemudian. Menyusuri jalan setapak ke arah hutan. Melintasi ladang Jagung dan Bayam. Aku menuntunnya ke sungai berbatu, dengan air jernih dan rumpun bambu lebat yang daunnya selalu berdesir.
Aku tak tahu mengapa ke sana. Waktu itu aku belum suka hutan. Sekarang, tiap aku ke sana, aku baru sadar tempat ini indah dan menenangkan.
“Indah ya,” cetusku berharap ia suka.
“Hum, gak tahu.”
“Jutek amat sih.”
Ia lalu duduk di batu, merendam kakinya yang putih, sambil memainkan air yang berdesir.
“Cerpenmu bagus,” katanya. Dua hari yang lalu ia memang membaca cerpenku “Kemilau Cinta di Langit Jingga” yang dimuat di satu majalah cerita remaja. “Kisah nyata, ya?”
“Hum, gak juga.”
“Trus, kisah siapa.”
“Siapa aja.”
“Hum, penulis gitu ya, pintar bohong.”
“Emang kapan aku bohong.”
“Barusan.”
“Gak, ah.”
“Tapi aku suka kok, itu bagian yang mereka mengejar hujan. Hujan menuntun kita ke sebuah bukit ilalang, dan kita bagai anak-anak menghanyutkan perahu kertas.” Ia mengutip bagian cerita itu.
Angin melintas berdesir. Aku berpikir merangkai kata. Tapi segera ia buyarkan pikiranku. Selalu begitu, bersamanya semua bisa menjadi menarik, semua tiba-tiba menjadi enak dijalani. Lentur dan tanpa beban. Kata orang begitulah cinta, semua dapat berubah menjadi indah.
“Namamu aneh,” cetusnya dingin.
“Masa.”
“Emang.”
“Kaget lho aku lihat kamu semalam.”
“Kenapa?”
“Karena gak pernah lihat kamu sebelum ini.”
“Kan kamu gak di sini.”
“Emang sih. Di mana aja dulu.”
“Di mana-mana. Perlu banget ya!”
“Gak juga. Mau tau aja.”
“Buat apa.”
“Biar kenal kamu semua.”
“Buat apa.”
“Masa gak boleh kenal.”
“Iya buat apa.”
“Masa aku gak boleh kenal kamu. Udah jalan gini.”
“Nanti juga kenal sendiri.”
“Salah kalau sekarang?”
“Masa di bawah rumpu bambu?”
“Emang salah?”
Ia diam. Lalu memungut daun kuning yang jatuh, melemparnya ke air yang mengalir. Ia menontonnya hanyut di antara bebatuan.
Aku menatap wajahnya lekat. Ia teramat cantik, segera mengingatkanku pada boneka Berbie dalam film kartun. Dan ketika aku menyampaikan itu, Rita tertawa terpingkal-pingkal. Aku lalu membayangkan naik kuda putih dan melarikan princes di antara hutan yang lebat.
“Aku sudah punya pacar,” katanya. Aku kaget, lalu senyum. Diam beberapa detik. “Nyesal?”
“Gak sih. Kaget aja.”
“Karena aku punya pacar?”
“Karena kamu cantik.”
“Gombal.”
“Emang.”
“Emang gombal. Gombal norak.”
“Aku gak peduli kok.”
“Aku juga.”
“Ya sudah,” kataku lega.
“Sudah apanya?” Ia kaget. “Kalau mau disudahi gak papa.”
“Kan belum mulai.”
“Mulai apa.”
“Mulai pacaran.”
“Siapa bilang kita pacaran,” katanya enteng.
Aku kaget.
“Trus, ngapain kita ke sini,” sapaku.
“Kan kamu ajak,” cetusnya enteng. Iya sih. Dan aku kaget, tapi senang dengan kepolosannya. Juga ketika pulang, kami berpegangan sepanjang jalan. Ia mulai membiarkan. Untuk hal itu aku senang. Tangannya lembut. Tangannya menenangkan gejolak, sekaligus membangkitkan gejolak. Kukira itu yang disebut cinta, karena berjuta rasa seperti permen. Itu kuyakini beberapa tahun kemudian. Waktu itu hanya sekedar menjalani karena memang senang menjalani. Tak ada persepsi apapun, kecuali bahwa aku menyukai semua yang ada dalam dirinya, dan dia tak keberatan. Itu saja. Kan, apa salahnya jalan dengan pacar orang!
Melewati cahaya kuning matahari dari balik hutan. Ia sesekali menarikku manja, dan aku menggenggam tangannya yang dingin. Ia sesekali menembangkan lagu-lagu cinta.
Dan begitu sampai di rumah, aku menulis puisi ini dan kumuat dalam status FB:
Juga malam ini, kami bertemu lagi. Lagit terang. Dari jauh lamat-lamat terdengar lagu “Cinta Datang Terlambat” dari televisi. Kami menyusuri jalan yang masih lengang itu, tetap berpegangan tangan, sambil sesekali menariknya dalam dekapan. Dan ia selalu bagai Kijang liar yang meronta dari dekapan.
“Kenapa sih,” cetusku.
“Emang kenapa.”
“Kan gak salah.”
“Emang.”
“Terus?” Aku kesal-kesal senang. Ia selalu tanpa beban.
“Terus ya terus. Mau pulang?”
“Masa pulang sih. Aku Cuma empat hari lho di sini. Minggu malam aku harus pulang ke Medan.”
“Iya, pulanglah, ngapain juga lama-lama di sini. Kan kamu kuliah.”
Aku menahan langkahnya. Ia menatapku sekilas. Lalu mengalihkan pandangan. Wajahnya indah di bawah lampu jalan yang redup.
“Gak pengen ya aku di sini.”
“Kalau pengen juga mau ngapain! Emang bisa.”
Dan aku memeluknya. Hanya beberapa detik. Lampu mobil yang melintas menampakkan wajahnya yang memerah.
“Aku gak akan bisa melupakanmu, tahu gak sih,” cetusku.
“Iya, terus mau ngapain.”
“Memang sih.” Aku lemas, lalu menariknya duduk di bangku bambu.
“Kirimi aku kabar nanti ya, sms atau surat.”
“Masa surat?”
“Emang salah.”
“Jadul, tau gak?”
“Biar aja. Yang penting bisa dibaca berkali-kali.”
“Sms juga bisa dibaca. Gak ada bedanya. ”
“Beda lah. Kan bisa dihapus.”
“Surat juga bisa dirobek.”
“Gak akan.”
“Sms juga jangan dihapus.”
“Mau gak sih?”
Ia senyum di kulum.
“Kenapa? Gak mau ya?”
“Mau,” katanya datar, dingin tanpa beban. Aku terhenyak.
Angin melintas. Sunyi. Ada sesuatu yang rasanya mau lepas.
“Besok aku berangkat,” cetusku. Tanggal 17 Januari aku memang harus kembali masuk kuliah.
“Tahu kok.”
“Masa gitu sih bilangnya.”
“Terus gimana.”
“Kamu gak kangen.”
“Kan belum berangkat.”
“Iya juga sih.” Dan aku kembali memeluknya beberapa menit. Ia menyandarkan wajahnya di bahuku. Alangkah indah sunyi itu. Alangkah segala meronta dari kawah yang tertutup itu.
Dan kutulis puisi ini:
Alangkah perih detik dimana aku mengingatmu.
Siapa yang kan terkam rindu yang meronta ini, atau selamanya hanya akan jadi sajak saja
Ia hanya menunduk, memainkan air. Tapi aku melihat hatinya yang gundah. Sekali ini aku yakin dia terharu. Karena tatapannya yang iba menorehkan sunyi.
“Aku akan mengirim surat,” cetusku. “Aku ingin kamu membalasnya.”
Ia mengangguk. Aku mendekatinya. Memeluknya dari belakang. Ia menundukkan kepala. Dan aku menangis tersimpan. Alangkah tohornya waktu.
Sepanjang jalan pulang, ia tak banyak bicara. Hanya sesekali menyandarkan kepala di bahuku, sambil membimbingnya berjalan. Seperti akan membimbingnya dalam sebuah pernikahan yang agung. Dalam hati aku menggumamkan lagu Rita Efendi “Menepis Bayang Kasih.”